'Aku pergi karena kemauanku sendiri. Ga ada yang perlu disesalin.' Aku biasanya ga pandai berbohong. Aku bukan pembohong yang baik. Tapi kalimat itu sudah kuulang berjuta kali dalam pikiranku dan sudah kuucapkan beribu kali-cukup untuk membuatku percaya dan meyakini hal itu.
"Kirana... My dear, kau..." Aku segera memotong perkataan ibuku sebelum ia membujukku untuk jangan pergi lagi.
"Momma, Aku tidak apa-apa. Aku akan baik-baik saja. I'll have Vincent there. If you can't count on me, you'll have him." Aku berlari ke arah pesawatku setelah mencium pipinya-tanpa memberinya kesempatan untuk membujukku lagi. Aku melihat reaksi Karissa, ibuku, tepat sebelum aku naik ke pesawat yang akan membawaku ke DarkForest.
Aku tahu dengan tepat apa yang menjadi kekhawatirannya. Aku, putrinya yang baru saja berumur 16 tahun tiba-tiba pergi meninggalkan cahaya matahari yang kucintai demi alasan yang... yeah, boleh dibilang tidak jelas.
Tapi aku harus melakukannya. Aku tidak begitu suka wilayah tropis-setidaknya belakangan ini. Aku mengalami banyak ketidak-beruntungan dengan cahaya matahari belakangan ini. Dan aku tahu terjadi begitu banyak perubahan dalam diriku sejak 3 bulan yang lalu-ulang tahunku yang ke 16. Bahkan tanda-tanda aneh di tubuhku muncul beberapa hari sebelumnya. Aku memberitahu semuanya pada kakakku, dan ia menyuruhku pergi ke tempatnya, di DarkForest.
DarkForest bukanlah tempat kesukaanku, itu jelas. Sesuai namanya, kota itu adalah kota yang gelap, basah dan penuh dengan hutan. Tapi aku tahu ada sesuatu di sana. DarkForest adalah tempat yang sempurna untuk MAHLUK sepertiku.
Well, aku harus berusaha memahami ibuku. Aku tak memiliki keberuntungan sebanyak Karissa. Aku bahkan bukan manusia sepertinya. Aku hanya separo manusia. Atau mungkin kurang dari separo manusia. Aku serius dengan kata MAHLUK. Ada sesuatu yang lain yang mengalir dalam darahku. Aku tahu. Dad sudah memberitahukan hal itu pada Vincent-kakakku dan aku saat aku berumur 7 tahun dan Vincent berumur 13 tahun. Dad meninggal saat Vincent berumur 16 tahun. Setahun kemudian, ia pindah ke DarkForest. Kurasa ia menemukan tempatnya di sana...
Kembali ke alasan aku meninggalkan rumah. Aku menceritakan tanda anehku pada Vincent, dan ia membantuku membuat alasan agar aku bisa pergi ke tempatnya. Bohong tentu saja. Kami tak boleh melibatkan Karissa dalam ini semua. Terlalu berbahaya. Bagaimanapun juga, ia tetaplah manusia.
Aku memperlambat jalanku saat keluar dari pesawat. Aku masih tetap memikirkan Vincent. Sebanyak apa ia telah berubah? Aku meraih semua bawaanku dan segera keluar. Di sana, aku melihat Vincent berdiri menungguku. Aku tak berani bergerak saat melihatnya. Ia menatapku sesaat. Lalu ia berlari ke arahku.
"Kirana Lisshant!! Beraninya kau membuatku menunggumu!!!" Ia memelukku dengan erat.
"Vincent?" Aku tak percaya bahwa ia tetap kakakku yang dulu. Ia tetap kakak yang kukenal.
"Yeah. Kau pikir aku tidak tahu kau sengaja memperlambat gerakanmu?" Ia menyentil keningku dengan keras.
"Aw!! That's hurt." Aku mengusap-usap keningku.
"You're afraid. Kau takut, kalau aku sudah banyak berubah? Takut kalau kau tak bisa mengenaliku lagi?" Ia merangkulku. Air mataku hampir jatuh. Ia benar-benar sama...
"Aku sangat rindu padamu, Kira... Kau berubah... " Ia memelukku lagi. Wangi freesia memenuhi penciumanku.
"Tapi kau tetap adikku, kan?" Ia mengacak-acak rambutku. Aku tersenyum. Ia meletakkan tangannya di bahuku.
"Tentu saja! Vincent, kenapa kau tak pulang saja? Karissa sangat merindukanmu." Aku meletakkan tanganku di pinggangnya. Tiba-tiba ia berubah. Menjadi murung.
"Vincent?" Aku memanggilnya lagi. "Kira, we should talk about this sooner. Ayo kita pulang." Ia mengangkat 2 koperku dan segera melangkah. Aku mengikutinya.
"Vincent, apakah aku begitu banyak berubah?" Tanyaku akhirnya.
"Ya. Aku menjawab jujur, lho. Apa saja yang kaulakukan selama aku tak ada di rumah?" Ia menatapku.
"Hei, kau tak ada di rumah selama 6 tahun." Godaku. Ia hanya menatapku. Aku tahu ia serius.
"Apa yang dilakukan manusia biasa. Karissa kan hanya manusia biasa. Memangnya apa yang bisa kulakukan?" Tanyaku balik. Ia menunjukkan kemarahan dan kepahitan di wajahnya yang manis.
"Kira, maafkan aku. Maaf aku tak pernah menjagamu." Ia menggenggam stir dengan erat. Aku bersender di pundaknya.
"Vincent, you are my brother. Sebesar apapun kesalahanmu, aku tetap adikmu. Asalkan kau memberitahuku semuanya. SEMUANYA. AKu pasti memaafkanmu." Aku tersenyum.
"Kira, kau takkan semudah itu memaafkanku." Ia menatapku sesaat, lalu tiba-tiba mobil berhenti.
"Here we are. Rumahku." Aku menatap rumah mungil yang terkesan sangat hangat.
"Menurutmu?" Ia menatapku. "Perfect!!" Aku menghambur turun untuk menghadapi apa yang akan kuhadapi selanjutnya...
Vincent menenteng koperku.
"Kira, kuncinya." Vincent melemparkan beberapa anak kunci ke arahku. Ia melemparnya dengan amat cepat. Tapi tanganku reflek menangkapnya.
"Hey, santai saja." Aku tetawa kecil. Aku mencoba kunci itu satu persatu, Akhirnya pintu rumah terbuka. Seperti dugaanku. Penataan rumah ala kakakku. begitu klasik. Tapi gaya klasik yang dibuatnya membuatku merasa betah di rumah ini. Entah kenapa, semua terasa begitu hangat.
"Hey, wanna see your room?" Ia menaiki tanga sambil membawa koper-koperku.
"Of course." Aku menaiki tangga kayu itu. Ia berhenti di depan salah satu pintu di lantai 2.
"enjoy yourself." ia memberikan kunci kamar itu padaku.
"Go downstair in 10 minutes." Ucapnya. Vincent tetap Vincent after all. Aku segera turun.
"Kurasa kau berhak tahu semua ini sekarang." Ia langsung berbicara tanpa basa-basi.
"Apa maksud kakak?" Tanyaku lambat.
"Kamu bukan manusia, kamu tahu itu. Kamu adalah dhampire. Separo vampir. Dan kau bukan separo vampir biasa. Kau adalah obsesi hampir semua vampir. Karena darah mengalir di nadimu. Detak jantungmu." Ia memunggungiku.
"Kenapa kakak sepertinya tidak seperti itu?" Tanyaku dengan takut-takut.
"Maafkan aku, Kira. Aku bukan separo vampir. Aku bukan separo demon. Aku adalah separo witch." Ia memandangku.
"Kira, aku... Harusnya mendidikmu. Aku harusnya melindungimu. Aku harusnya melindungimu. Kau adalah 'The GODDES'. Sekaligus 'La Tua Catante'. Sangat berbahaya, Kira. Kedua posisi ini bisa membuat vampir manapun tergoda. Membuat werewolves manapun ingin membunuhmu." Ia duduk di sampingku.
"Lalu, bagaimana denganmu, Vincent?" Aku menatapnya.
"Aku pelindungmu, Kira." AKu terdiam. "Itu menjelaskan semuanya." Aku mengingat saat kelas 2 SMP, aku berkemah ke gunung dan aku diserang beberapa serigala raksasa. Saat kelas 3 SMP aku hampir diculik oleh seseorang yang begitu tampan, namun sama sekali tak membuatku tergoda.
"Apa maksudmu?" Ia memegang bahuku.
"Tidak ada apa-apa." Aku tersenyum tipis.
"KIRA!" Aku takkan bisa melawan Vincent.
"Aku pernah diserang oleh... vampir dan werewolves..." Aku tak berani menatap wajahnya. Aku takut Vincent akan lebih lagi menyalahkan dirinya sendiri.
"Vincent, this isn't your fault!!" Aku berteriak saat sadar ia kecewa berat mengetahui sudah sejak lama aku diserang.
"This is MINE! Kesalahanku, Kira!!" Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Aku memeluknya.
"Vincent, kak, Kira ga ngerasa kak Vincent salah. yang penting, mulai dari sekarang kakak akan ngelindungin Kira, kan?" Aku menghibur kakak tersayangku. Ia memelukku balik. Aku tahu, saat itu, Vincentius Lisshant bersumpah akan melindungiku sampai mati.