Chapter 2

15 0 0
                                    

Oke, tancaap! Astrid mungkin yang paling berasap kepalanya. Dia tertangkap nonton anime ketika guru TIK sedang menjelaskan materi di lab.

Para boncengers sejati pun langsung menaiki motor. Masih dengan pikiran akan bersenang-senang tadi, gue jadi mikir ulang untuk pulang telat hanya karena nonton di kosan Ucha. Harusnya kan gue dan mereka sama-sama mempersiapkan diri untuk menjalani UN. Gue masih sibuk berdebat dengan pikiranku sendiri ketika hanya gue dan Astrid saja yang masih berdiam diri di pinggir jalan.

Astrid! Kenapa lu gak bilang kalo mereka semua udah jalan?!!

Yah, gue kira lu lagi ngijin sama ortu lu.. jawabnya santai.

Gue memainkan kunci motor, ragu mau mengatakan gagasanku padanya. Sebenarnya Astrid tipe teman yang welcome dengan segala perbedaan plus menerima ide-ide tanpa mengkritiknya terlebih dahulu.

Tapi, menurut gue, Trid, kalo kita cuma nonton aja kok kayaknya waktu kebuang sia-sia gitu ya? Akhirnya gue memberanikan diri untuk mengatakannya. Setidaknya tidak terlalu konyol dibandingkan menyatakan cinta pada seorang laki-laki.

Mm, bener juga sih pendapat lu. Gini deh, nanti kita kasi tau yang lain trus pada berembuk deh kelanjutan rencana kita kayak gimana. kata Astrid adem. Adeem banget buat gue.

Tak lupa gue dan Astrid membeli beberapa jajanan untuk dicemil nanti. Syukurnya kos si Ucha tidak begitu jauh dari sekolah kami. Sehingga tidak membutuhkan waktu lama bagiku dan Astrid untuk menyusul mereka.

Tanpa dikomando kami pun langsung menuju kamar Ucha yang terletak di lantai 2 paling pojok. Tangganya mengerikan. Lurus ke atas tanpa ada kelokan dan terbuat dari besi bukan bata. Gue pernah membayangkan seandainya gue jatuh dari tangga ini, pastinya gue tidak akan berhenti terguling hingga mencapai lantai 1 yang beralaskan tanah. Iya, kosan ini tidak seperti rumah. Tidak menyambung dengan kamar lainnya. Ada dua kamar di lantai atas dan bawah yaitu kamar tempat Ucha. Kemudian, terpisah dapur dan tempat mencuci terdapat rumah lagi tapi tidak bertingkat dan kamar mandi.

Ketika sampai di lantai atas sudah terdengar ramainya suara perempuan, anggota gengku. Cepat-cepat kubuka sepatu dan kaus kakiku. Oiya, jajanan itu ada di tangan Astrid. Kulihat Astrid kewalahan menaiki tangga mengerikan nan sempit itu dengan menenteng jajanan dan tas ranselnya yang penuh . Tanpa alas kaki gue pun turun lagi untuk mengambil sesajen itu.

Kampret, lu lebih peduli sama jajan daripada sama gue, katanya ngos-ngosan.

Haha, siapa dulu yang bilang mau diet tapi gak jadi-jadi? Caleg lu.. hahaha.

Pintu kamar Ucha sudah terbuka. Dan di depannya berjejer sepatu-sepatu anak sekolahan. Sekolahku memang kaku sekali! Kami harus memakai sepatu berwarna hitam dan kaus kaki berwarna putih. Mematikan kreatifitas siswa, gerutuku dulu.

Dulu gue pernah ngeyel dengan peraturan ini dan memakai tali sepatu berwarna hijau. Karena sering datang pagi gue jarang tertangkap guru. Tapi sepandai-pandainya kutu menghindar, pasti kena pites tangan manusia. Begitu pula denganku. Pernah sekali waktu gue datang agak telat dan guru-guru sudah berpatroli didepan pintu gerbang untuk memeriksa atribut siswa. Dan selamat tinggal tali sepatu kesayangan. Ia disekap diruang guru olahraga. Walhasil gue menenteng sepatuku ketika berjalan di koridor dan ditertawai teman kelas lainnya. Terkenal secara tidak langsung, boleh saja, pikirku. Syukurnya saat itu hari Rabu bertepatan dengan jadwal pelajaran olahraga. Astrid biasanya suka bawa dua sepatu dan benar saja dia membawanya. Langsung saja gue meminjam talinya yang berwarna putih. Aman sentosa.

Loved AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang