CHAPTER 3
GELAP, tetapi tak seperti yang kubayangkan. Kegelapan memang diperlukan karena kamar mandi ini hanya berupa bilik – bilik tanpa pintu-hanya menggunakan tirai bambu untuk menjaga privasi penggunanya. Jadi, kupikir gelap akan membuat penggunanya lebih nyaman menggunakanya.
Setelah mandi dengan air hangat yang disediakan, rasanya lebih nyaman. Hebat juga, sekolah ini menyediakan air hangat untuk siswanya. Aku memakai celana pendek diatas lutut berwarna hitam dan kaos longgar berwarna ungu tua. Aku merapikan peralatan mandiku, lalu keluar. Kembali menyusuri lorong sepi menuju kamarku.
Saat aku berjalan ada seseorang yang memanggilku-atau kupikir dia memanggilku. “Hei, kau anak baru itu ya kan?” aku membalikkan badan untuk melihat siapa orang yang baru saja ‘berusaha’ bicara denganku.
Mereka bertiga, mereka masih menggunakan seragam sekolah berwarna biru tua itu. Dan yang membuatku tetap menatap mereka adalah karena kecantikkan mereka yang mengaggumkan. Tetapi setelah diperhatikan sebenarnya, yang paling cantik ada di tengah, mungkin ia pemimpinnya.
Si pemimpin berambut Auburn-pirang itu bertanya padaku, “Hei, kau punya nama bukan? Apa kau ingin seluruh sekolah memanggilmu dengan sebutan ‘Hei’?” mereka tertawa, mereka terlalu kompak, tetapi kompak yang tidak menyenangkan-sehingga membuatku langsung tak menyukai mereka.
Aku menatap si pemimpin, “Emily. Stryder.” Jawabku singkat. Aku tak ingin berlama – lama dengan mereka.
Kali ini si Blonde-pirang-yang ada di sebelah kanan si pemimpin, yang berbicara padaku. “Oh, halo.. Stryder! Aku Chaston Burnett, Ini Elodie Parris. Dan yang diujung sana adalah Anna Gilroy. Kami semua penyihir hitam. Jadi, kau ini apa? Tetapi menurut pengamatanku kau penyihir.” Mata birunya menatapku. Baiklah, paling tidak Chaston tak seburuk Elodie.
“ Aku penyihir.” Jawabku singkat.
“Hahaha... benar kan! Dia ini penyihir putih!” Anna memberikan pandangan mengejeknya padaku. “Tak mungkin orang ini seperti kita, Chaston.” Tapi Chaston hanya cemberut.
“Biar kutebak, kau bukan dibesarkan dari keluarga penyihir bukan?” Elodie menatapku. Aku tak menjawabnya.
Elodie memutar bola matanya, “ Hahaha... malang sekali nasibnya. Ayo guys, kita pergi! Tak ada gunanya lebih lama di sini. Aku berani bertaruh, dia baru tau kalau dirinya penyihir hari ini.”
Aku menatap geram padanya, dia ini benar – benar menyebalkan! Tetapi aku diam saja, apa gunanya menyiram api dengan minyak?
“ Sebentar Elodie, aku penasaran. Bagaimana kau bisa dikirim kemari?” Chaston mengangkat satu alisnya. Oh Ya Tuhan! Aku tarik kembali pikiran tentang ‘Chaston lebih baik’. Aku tak akan pernah menyukai ini.
Anna menambahkan, “ Jika kau tak mengerti, sebagai contoh Elodie. Ia membuat seseorang menghilang.” Anna tersenyum menjengkelkan padaku.
Elodie menatapku bosan, “Chaston membuat hujan dalam tiga hari berturut – turut tanpa henti.”
“Dan Anna mengubah seorang laki – laki di kelas Bahasa Inggris menjadi seekor tikus!” Chaston menyempurnakannya. Ugh, apa mereka selalu bicara sepeti ini?
Elodie melipat kedua tangan di dadanya, tatapannya tetap bosan. “Oh guys, penyihir putih? Seolah kalian tak tau saja! Paling hanya hal sepele, mungkin mengubah sendok menjadi bunga?” ia menatap mengejek padaku. Lalu mereka tertawa lagi. “ Dia itu tak seperti kita, jadi ...”
“Jadi, tinggalkan dia, Elodie! Jangan ganggu dia!” terdengar suara dari belakang tiga orang menyebalkan ini. Syukurlah, ada juga orang baik disini selain Mrs. Casnoff. Siapa dia? Siapapun dia aku sangat berterima kasih padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Souls (Hex Hall FanFiction)
ФанфикMATA itu memacarkan ketakutan yang teramat sangat. Tangannya berusaha menghentikan aliran darah yang keluar dari luka di kakinya. Begitu lemah, bahkan dengan sedikit kekuatan milikku akan membuatnya mati dengan cepat. Tapi tidak, aku tak akan membu...