Gadis itu menunduk di depan meja rias, sesekali melirik pantulan dirinya di cermin dengan hati berkabut, lantas mendesah pasrah tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Habis sudah hidupku hari ini, pikirnya. Rasanya ia ingin sekali menangis sejadi-jadinya, teriak sekencang-kencangnya. Entah apa rencana Tuhan hingga hal ini harus hadir dalam hidupnya dengan cara yang tidak biasa.
"Udah kenapa, Zi. Ini kan hari nikahan lo. Mau sampai kapan sih cemberutnya? Senyum dong, senyum..."
Zia--gadis itu, melirik gadis di sampingnya sinis, sahabatnya yang bernama Meta itu kini sudah memamerkan senyum--atau lebih tepatnya cengiran--terbaiknya.
Beberapa detik setelahnya tatapan Zia pada Meta berubah tajam. Bisa-bisanya Meta meminta Zia tersenyum disaat seperti ini? Sahabat apa bukan sih nih anak? Gerutu gadis itu tentu saja dalam hati. Bahkan ia tak punya cukup tenaga meski hanya untuk bicara dengan nada tinggi, rasa-rasanya semua energinya sudah habis sebulan terakhir. Saat pertama kali rencana pernikahan konyol ini ia dengar dari mulut sang Ayah. Otak Zia seketika langsung keruh hanya dengan mengingatnya.
***
Sebulan lalu...
Tumben-tumbenan Ayah meminta anak gadisnya pulang masih siang begini. Biasanya Ayah akan menyuruh pulang kalau jam di pergelangan tangan Zia sudah menunjukan pukul sembilan malam. Bukannya merasa keberatan, Zia hanya merasa ini janggal. Kalau hanya ingin bicara kan bisa menunggunya pulang nanti, atau menyampaikannya melalui telepon pun mudah saja bukan?
Tiba di rumah, semua anggota keluarga sudah duduk manis di ruang tamu. Mereka terlihat seperti menunggu. Kerutan di dahi Zia muncul begitu melihat tingkah keluarganya yang tidak biasa siang ini. Kenapa siang-siang begini semua berkumpul? Apa terjadi sesuatu?
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam."
Zia berjalan menghampiri, menatap keluarganya satu per satu dengan tatapan bingung. Ia putuskan duduk di samping Kak Sat--maksudnya Kak Satria, kakak tertuanya. Menatap pria diakhir dua puluhan itu penuh tanya, "Ada apa sih?" tanya Zia tanpa suara.
Satria hanya tersenyum meminta adik bungsunya duduk. Senyum ganjil yang membuat sebelah alis Zia terangkat ketika menerimanya.
Masih hening. Tidak ada yang bicara satu pun sampai detik berganti menit, keluarga itu hanya menatap satu sama lain saling berganti, membuat Zia yang baru duduk di sana heran sendiri.
"Ada apa sih?" Akhirnya gadis itu buka suara, tak sabar.
"Hem.." Ayah berdeham mengambil alih. "Begini sayang... Ayah mau bicara sama kamu, tapi janji kamu akan dengerin Ayah sampai Ayah selesai bicara ya?"
Zia menggangguk ragu. Sejak menginjakan kakinya di rumah ia sudah merasa ada yang tidak beres--bukan, bahkan permintaan Ayah yang menghendakinya pulang cepat pun bukan hal yang biasa. Ketidakberesan ini sudah berlangsung bahkan sebelum Zia menginjakan kakinya di rumah siang ini.
"Ayah ingin kamu menikah, Zi."
"Ah..."
Tunggu! Apa Ayahnya bilang?
"APA?"
Telat sekali gadis itu bereaksi. Otaknya terlalu lambat mencerna kalimat sang Ayah yang ia pikir tidak akan pernah ditujukan untuknya hingga ia selesai kuliah nanti.
Tentu saja, gadis itu bahkan masih delapan belas tahun--meski beberapa minggu lagi akan sembilan belas--tapi ia jelas masih kuliah, itu pun masih semester tiga, dan apa Ayahnya bilang? Menikah? Diusia semuda itu? Jangan bercanda!
KAMU SEDANG MEMBACA
Disguise... [END]
Romance[Cerita kedua yang Saki buat di Wattpad, tahun 2014, masih sangat belajar waktu itu. Maka dari itu maaf kalau alay dan gaje. Manusia hidup nggak langsung dewasa, kan?] 😂😂😂 "Jangan sampai lo jatuh cinta sama gue." Zia menoleh tidak percaya, mengha...