Merasakan hembusan nafas lembut dan teratur menerpa wajah, Zia menyipitkan mata, mengerjap perlahan mengamati apa yang ada di hadapannya. Sudut bibir gadis itu mengukir senyum, menatap wajah tampan di hadapannya yang ia berikan elusan lembut dengan tangan yang sudah berada di sana entah sejak kapan. Rupanya ia sedang memimpikan seorang pria tampan, membuatnya tanpa sadar senyum-senyum sendiri.
Tunggu! Mimpi? Bersama pria tampan?
Zia membuka mata lebih lebar, menatap wajah pria yang hanya berjarak kurang dari lima senti dari wajahnya. Otak gadis itu segera mencerna mengamati wajah damai pria di hadapannya yang damai tertidur, lalu beralih pada jemarinya yang mengelus pipi pria itu, beralih lagi pada tangan pria itu yang begitu asik bertengger di pinggangnya. Seketika nafas gadis itu memburu, otaknya sudah memerintahkan pada mulut untuk segera berteriak, namun belum sempat perintah itu tersalurkan, tangan besar laki-laki di hadapannya itu sudah membekap mulut Zia. Malah dengan seenaknya pria itu mengubah posisi dirinya yang kini berubah di atas Zia, dengan sebelah tangan yang menahan tubuh kekar itu agar tidak menindih istri mungilnya. Zia melotot, pada pria yang bahkan masih setengah terpejam.
"Jangan teriak. Nanti keluarga kita tau kita nggak ngelakuin apa-apa semalam.," gumam pria itu dengan suara parau, setengah sadar.
Dengan cepat Zia mengangguk kasar, menepuk-nepuk tangan pria yang tidak lain adalah suaminya, Ardi. Tanpa pria itu sadari ia sudah menutup akses udara yang harus Zia hirup.
"Oksigen! Aku butuh oksigen!"
Merasakan pukulan Zia semakin brutal padanya, Ardi mencoba menajamkan penglihatan, dengan segera pria itu menyingkirkan tangan yang membekap mulut Zia hingga gadis itu sulit bernapas. Hampir saja dia membunuh istrinya sendiri--tidak, itu berlebihan.
"Ma-maaf, kamu nggak apa-apa?"
Zia sibuk mengambil oksigen banyak-banyak, mengalihkan pandangannya dari Ardi yang menatap khawatir. Meski begitu Ardi tidak segera merubah dari posisinya. Pria itu malaah sibuk mengamati Zia yang masih mencoba bernapas dengan leluasa. Sayang, disaat tidak tepat itulah pintu kamar Zia terbuka lebar. Menampakan sosok Satria yang langsung memasang senyum jahilnya.
"Ups, kayaknya gue dateng diwaktu yang nggak tepat nih!" Suara Satria yang otomatis membuat kedua orang itu menoleh ke arah pintu kamar. Seketika mereka membeku.
"Cepetan selesain sesi paginya, para tetua ngajak shalat berjamaah. Atau mau gue absenin?" Satria tersenyum menggoda, tangannya masih tidak beranjak dari kenop pintu yang ia buka tanpa permisi.
Zia menelan ludah, kemudian mengalihkan objek pandangannya dari Satria pada Ardi yang--belum juga merubah posisinya. Dan detik itu Zia baru sadar, bahwa kakak tertuanya itu meliht mereka dalam posisi tidak senonoh macam itu!
"Ah ya udah deh gue gak mau ganggu. Selamat berolah raga pagi..." dengan ringan Satria mengerling ke arah adik dan iparnya itu, lantas melengos pergi setelah terbahak seraya pintu yang tertutup.
"Kak Satttt...!"
"Shhttt... bisa nggak sih jangan teriak?" tegur Ardi kembali membekap mulut Zia, kali ini memastikan memberi akses bernapas gadis itu.
"Minggir lo! Lagian kok gue bisa satu ranjang sama lo sih? Seinget gue kan--gue tidur di lantai." Zia bicara setelh menepis tangan Ardi dari mulutnya.
Ardi mengangkat bahu tak peduli. Malas juga kalau harus menceritakan bahwa dialah yang memindahkan Zia ke tempat tidur. Biar saja gadis itu beranggapan bahwa ia berjalan sendiri atau semcamnya hingga bisa ada di tempat tidur.
Melihat sikap Ardi yang acuh tak acuh membuat Zia jengkel sendiri, lagi pula kenapa pria itu tidak menyingkir-menyingkir dari posisinya sih?
"Awas gue bilang! Lo nggak denger orang tua kita udah nunggu di bawah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Disguise... [END]
Romance[Cerita kedua yang Saki buat di Wattpad, tahun 2014, masih sangat belajar waktu itu. Maka dari itu maaf kalau alay dan gaje. Manusia hidup nggak langsung dewasa, kan?] 😂😂😂 "Jangan sampai lo jatuh cinta sama gue." Zia menoleh tidak percaya, mengha...