4. Kesepakatan

59.3K 3K 32
                                    

Zia diam, tidak lagi sibuk berontak seperti yang dilakukannya tadi. Manik matanya takut-takut menatap mata Ardi yang tajam menusuk ulu hatinya. Bukan hanya tatapannya saja yang membuat Zia berhenti berontak, tapi ancaman yang baru saja diluncurkan oleh pria di hadapannya itu.

"Aku nggak akan segan-segan cium kamu. Dan kali ini bukan di pipi, tapi di bibir!" ulang Zia dalam hati.

Jantungnya sudah berdetak tidak karuan, setelah hening beberapa saat Zia mengangguk ragu. Dirasakannya Ardi menghela nafas lega, lalu menyingkirkan tangannya dari mulut Zia.

"Inget, kamu harus denger penjelasanku sampe akhir dulu. Dan nggak ada acara teriak-teriakan," tutur Ardi masih dengan nada yang tidak terbantahkan.

Zia menelan ludah, bukan hanya karena takut ancaman suaminya, tapi juga karena takut pada sikap Ardi yang berubah super tegas tidak seperti kemarin yang masih bisa meladeninya dengan santai. Dengan suara tercekat akhirnya Zia dapat menjawab permintaan--lebih tepatnya perintah--Ardi itu.

"I-iya."

Setelah memastikan Zia tidak akan melangar kata-katanya, Ardi menyingkir dari tubuh Zia dan duduk di tepi ranjang, menatap Zia yang juga ikut duduk. Tatapan tajam itu seketika melembut melihat istrinya yang sedikit ketakutan dengan sikap Ardi barusan.

"Maaf, aku nggak bermaksud bentak kamu."

Zia hanya diam, dirinya sudah menunduk sejak tadi.

"Tapi kamu sudah dewasa, Zi. Nggak seharusnya menyelesaikan masalah meledak-ledak kayak gitu," lanjut Ardi mengusap puncak kepala istrinya lembut.

Zia masih diam, tidak ada yang dapat dilakukannya selain itu. Otaknya masih buntu, Ayah yang mengajarinya untuk tidak pernah berbohong sejak dulu malah melanggar aturannya sendiri, dan itu melukai Zia, setidaknya bagi gadis itu sendiri.

"Mereka memang bohong tentang kondisi Ayah yang harus duduk di kursi roda, dan aku akui aku juga tahu hal itu. Tapi Ayah nggak pernah bohong tentang dirinya yang sakit, meski sakit yang dimaksud bukan tentang kakinya." Penjelasan Ardi terhenti saat Zia mengangkat wajahnya menatap Ardi.

Ardi menghela nafas, bangkit dari ranjang dan menggeledah koper miliknya. Mengeluarkan sebuah map coklat sambil menimbang-nimbang apa ia harus memberi tahu istrinya mengenai hal ini. Sementara itu Zia menatapi suaminya itu dengan kening berkerut. Sampai Ardi berada di hadapannya kembali duduk.

"Sakit Ayah memang sama sekali nggak berkaitan dengan kakinya yang hanya keseleo. Tapi ini jelas berkaitan dengan pernikahan kita, nama penyakit Ayah Alzheimer, Zi," ucap Ardi seraya menyerahkan map coklat yang ada di tangannya pada Zia.

Dahi Zia kembali berkerut, mengambil map berlogo rumah sakit itu dari tangan Ardi. Membuka dan membaca hasil pemeriksaan yang ternyata milik Ayahnya. Zia kembali memusatkan perhatiannya pada Ardi dengan raut wajah penuh tanya, tanda ia sama sekali tidak mengerti dengan hasil pemeriksaan itu.

Sekali lagi Ardi menghela nafas, meraih tangan istrinya dan menggenggamnya. Dengan sabar menjelaskan apa yang tidak Zia mengerti.

"Sejenis penyakit pikun, tapi ini lebih fatal karena penderita bisa kehilangan semua memorinya bahkan lupa dengan keluarganya sendiri."

Zia terhenyak, menatap Ardi tak percaya. Gadis itu mencari celah pada mata tajam itu bahwa yang dikatakannya adalah sebuah kebohongan. Tapi Zia tidak dapat menemukannya, mata Ardi mengambarkan keseriusannya, kejujurannya yang tanpa cela. Akhirnya Zia hanya dapat tertunduk menumpahkan air mata yang sejak tadi ia tahan.

"Ayah cuma ingin lihat kamu bahagia sebelum beliau benar-benar lupa, Zi. Ayah cuma ingin melihatmu menikah dan melepas tanggung jawabnya selagi beliau ingat. Hanya itu, dan bukan bermaksud bohongin kamh."

Disguise... [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang