EXTRA : Misteri Masa Depan

22.3K 1.2K 37
                                    

Keadaan rumah sakit sedang kacau--tidak, lebih tepatnya keadaan negaralah yang sedang kacau, dan itu berdampak pada seluruh lapisan masyarakat.

Sebagai calon direktur utama rumah sakit keluarganya, Ardi dituntut untuk bisa mempertahankan keadaan rumah sakit yang diambang kehancuran jika salah langkah sedikit saja. Tentu saja itu sulit ditengah masa residennya yang juga dituntut untuk bisa profesional dengan profesi dokter, bukan malah dengan masalah management perusahaan.

Kadang Ardi dibuat pusing sendiri, haruskah ia mementingkan posisi calon direktur-nya, mengontrol dan mengawasi setiap sudut rumah sakit agar tidak tumbang karena orang-orang yang bertanggungjawab--ataukah pada masa residennya sebagai spesialis. Menempati kedua posisi itu disaat tergenting benar-benar tidak mudah sama sekali.

Ardi mengusak rambut. Pria itu sudah semalaman bejaga di rumah sakit karena kerusuhan yang beberapa bulan terakhir terjadi. Kerusuhan di mana-mana yang membuat rumah sakit selalu dipenuhi dengan pasien entah itu pagi, siang, atau malam.

Ini sudah lebih dari 24 jam ia tidak berada di rumah, meninggalkan istrinya yang sedang hamil tua.

Ponsel Ardi bergetar di saku jas dokternya. Menampilkan nama Zia yang berkedip di layar. Baru saja dipikirkan, istrinya itu ternyata sudah lebih dulu menghubunginya.

"Hallo, Sayang..."

"Kamu nggak pulang lagi?" Suara Zia terdengar lirih.

Dengan amat menyesal, Ardi harus kembali memberikan jawaban yang pasti mengecewakan istrinya itu. "Maaf, kayaknya gitu."

Terdengar helaan napas di seberang panggilan. Zia mengambil beberapa jeda sebelum kembali bersuara. "Ya udah, kamu jangan lupa makan. Kerjaan kamu itu bantu orang sakit, jangan malah kamu yang nantinya justru ikutan sakit.",

Mau tidak mau senyum di wajah lelah Ardi kini berkembang. "Iya, Sayang. Pasti."

Panggilan berakhir begitu Zia menutup suaranya di seberang sana. Ardi menarik napas dalam, memejamkan mata sejenak sebelum kesibukan lain menantinya.

Benar saja, baru lima detik Ardi menejamkan mata panggilan darurat untuk setiap dokter jaga ia terima, buru-buru pria itu keluar dari ruangan. Menuju pintu masuk untuk menyambut pasien luka dari kerusuhan yang lagi-lagi terjadi.

Seorang wanita hamil menarik perhatian Ardi. Wanita hamil itu terbaring di bangkar dengan darah yang mengalir. Ardi teringat dengan panggilan lima belas menit lalu dari petugas ambulance yang disediakan di sekitar pusat kerusuhan. Dan ia yang menerima untuk membawa pasien itu ke rumah sakitnya.

Tiba di IGD, semua dokter yang menemai ibu itu segera sibuk dengan tugasnya masing-masing, termasuk Ardi yang sejak tadi berdiri di samping ibu itu. “Ibu tenang ya. Kita sudah kontek konsulen jaga obgyn.”

Ardi bersusaha menenangkan pasiennya, meski dirinya sendiri mulai tidak tenang melihat sang ibu yang mengingatkannya pada Zia.

“Di, janin bradikardi!  Curiga gawat janin. Kayaknya memang harus SC , siapin lembar informed conscent!

Ardi mengangguk, bergegas mengerjakan apa yang rekannya sampaikan.

“Kak, ini tensi Ibu hanya 80/60, nadinya juga cepat. Curiga ibu mulai shock!” salah satu tenaga dokter muda  yang membantu di sana melapor.

IGD mulai terlihat kacau begitu semua pasien berusaha di tangani oleh dokter yang terbatas. Membuat seuasana IGD semakin mencekam dibuatnya.

“Telepon OR! Suruh siapin kamar buat SC, Cito!”

Salah satu residen senior di sana segera mengambil ponsel di saku jas putihnya, menghubungi profesor untuk melapor. “Dok, pasien Ibu Sashi. 32 tahun, hamil 27 minggu. Vital sign tensi pasien 80/60, nadi 130, RR 28 kali, temp 35.8. DJJ terakhir 100 kali per menit. Suspek shock hemorrhagic et causa solusio plasenta . Mohon izin persiapan SC!”

“ACC SC. Saya on the way OR. Hubungi anestesi, dan jangan lupa cross match.

Satu persatu, baik dokter, suster, mau pun dokter muda yang berjaga di sana terlihat sibuk mengrrjakam pekerjaan mereka masing-masing. Sekilas pun dapat terlihat bahwa tidak ada ruang untuk bersantai di sana, termasuk Ardi yang juga sibuk menangai pasien dalam keadaan darurat..

Semuanya berjalan lancar, harusnya--hingga bayi mungil itu keluar dengan selamat dari perut sang ibu operasi sebenarnya berjalan dengan lancar. Tapi... ketika darah yang diharuskan masuk ternyata tidak tersedia karena kerusuhan yang semakin menjadi di luar sana, kepanikan mulai terjadi.

“Tensi drop! 60/40, nadi tidak teraba!” mendengar kalimat itu membuat suasana ruang operasi semakin menegang. Termasuk Ardi yang sejak tadi menemai sang Ibu yang tidak dibius total selama operasi, berusaha mengajak ibu itu bicara apa pun agar kesadarannya tetap terjaga.

Ardi menggenggam tangan pasiennya erat, berusaha memberikan kekuatan karena posisinya memang hanya mampu untuk berada di sana. Dibalik sarung tangan bedah, dengan masker yang menutup sebagian wajah, mata Ardi terlihat berkaca, menyaksikan sendiri bagaimana kesadaran pasiennya yang kian menurun.

Setelah menceritakan menceritakan mengenai nama impian untuk bayinya dengan suara terbata, tiba-tiba kesadarannya menurun bahkan menghilang diikuti suara monitor EKG yang berdeging panjang tanda tidak adanya lagi denyut jantung pasien.

Genggaman Ardi semakin mengerat, tanpa sadar dengan setitik air matanya yang jatuh.

Kejadian itu terjadi begitu cepat, bahkan sangat cepat hingga Ardi masih berada di posisi tetapnya sejak tadi. Dokter yang berusaha resusitasi cairan dengan infus nyatanya tidak berhasil menangani shock.

“Pasien sudah tidak ada,” ucap dr. Anestesi pelan.

***

Setengah jam setelah operasi selesai Ardi masih diam di depan kamar jenazah. Duduk terdiam dengan perasaan campur aduk yang selalu menyerangnya setiap kali peristiwa menyedihkan macam ini terjadi. Itu bukan kali pertama ia melihat seorang pasiennya kehilangan nyawa, ini jelas bukan kali pertama. Hanya saja kali ini... entah mengapa ada perasaan menyesal saat dirinya tidak bisa melakukan apa-apa, bahkan untuk sekedar menyumbangkan darahnya dikondisi darurat seperti tadi. Andai saja ia segera mengajukan diri, andai saja ia bisa membaca situasi bahwa dengan kerusahan yang terjadi belakangan ini sulit untuk bisa menemukan stock darah, andai saja...

“Namanya Saba, dia akan menjadi anak laki-laki saya yang kuat dan sabar.” Kalimat itu kembali terngiang di telinga Ardi, sama persis ketika ia mendengar langsung dari almarhum ibu bayi yang tadi sempat ia ajak bicara.

Ardi meremas rambutnya yang berantakan, termenung hingga seorang perawat menghampirinya yang tertunduk dengan penampilan kacau, menyerahkan sebuah kalung berbandul dua cincin yang mengiasinya. Ardi mendongak untuk menatap perawat yang mengulurkan kalung itu padanya dengan pandangan bertanya.

“Ini milik pasien yang baru saja dokter tangani. Saya ragu mengembalikannya pada keluarga pasien yang saat ini benar-benar terpukul. Saya harap dokter bisa menggantikan saya untuk mengembalikan kalung itu,” tutur sang suster, meletakan kalung itu di telapak tangan Ardi, sebelum akhirnya menunduk undur diri kemudian berlalu.

Ardi mencengkram benda di telapak tangannya erat, menumpahkan tangisnya di sana.

Anak itu harus tumbuh tanpa ibunya. Anak itu--anak yang akan seusia dengan putri Ardi kelak, harus tumbuh tanpa tahu bahwa sang ibu begitu mencintainya.

"Bahagia itu ketika kita merasa cukup." - Nigi Syahreza

"Dan itu berarti, bahagia gue adalah lo." - Sabara Ardan
______________________________________

Maaf extra-nya malah mundur dan sedikit kelam. Ini gambaran cerita di "Damn! Its You?!" Cerita anaknya Ardi dan Zia 😂

Yang belum punya ayo grab its fast! Sudah beredar di gramedia sejak 3 Januari laluuuu 🙌🙌🙌

Disguise... [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang