BAB 1: Mimpi Buruk Arita

158 17 9
                                    

Wanita itu berlari menelusuri lorong rumah sakit setelah mendapat kabar yang sangat buruk. Tanpa mempedulikan tatapan aneh setiap orang yang melihatnya, dia terus mencari seseorang yang selama ini menggantikan posisi ibunya yang telah tiada. Layaknya seorang ibu yang selalu menyayanginya, selalu mengerti dan paham tanpa harus menyuarakan suaranya terlebih dahulu. Cukup dengan perasaan batin, semua telah tersalurkan.

Langkahnya terhenti setelah mendapati ruangan yang dimaksud. Tangannya sedikit gemetar saat menyentuh handle pintu ruangan tersebut. Rasa khawatir terlihat jelas di raut wajahnya. Dirinya merasa takut. Ia takut akan kehilangan orang yang sangat ia sayangi lagi. Cukup sudah baginya merasakan kesedihan begitu mendalam saat kehilangan kedua orang tuanya. Dan kini dalam setiap langkahnya, dia selalu berdoa untuk kesembuhan satu-satunya keluarga yang sangat disayanginya.

KLEK ...

Pintu berhasil dibukanya. Dengan memantapkan hati dan menahan bulir panas di sudut matanya, wanita itu perlahan menghampiri seseorang yang tengah terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang putih. Terlihat sebelah tangannya terbalut perban dan impus.

Wanita itu duduk di samping ranjang sosok yang masih terlelap. Walaupun wajahnya terlihat pucat namun detak jantungnya terlihat normal pada mesin monitor yang bergerak zigzag.
Kemudian jemarinya menyentuh pergelangan tangan yang begitu dingin.

"Kak, bertahanlah demi aku ..." ucapnya mulai tergugu. 

"Kak, aku mohon ... tetaplah hidup bersamaku, Kak," lanjutnya lagi dengan menggenggam erat jemarinya.

Ucapan sang dokter masih terngiang jelas dalam benaknya. Kala itu salah seorang suster menyuruhnya untuk menemui dokter Herman yang menangani kakaknya.

"Apakah Anda keluarga pasien?" ucap lelaki paruh baya di hadapannya.

Gadis itu mengangguk seraya berucap, "Iya, Dok, saya adik pasien yang Anda tangani. Bagaimana keadaan kakak saya dokter?"

"Kakak Anda harus menjalani operasi secepatnya," ucap dokter Herman dengan nada sangat serius.

"Sebentar, Dok, apa maksud Anda tentang operasi? Kenapa kakak saya harus melakukan operasi?" tanyanya tak mengerti.

"Jadi, Anda belum mengetahui perihal penyakit yang diderita kakak Anda?" simpulnya setelah mendengar pertanyaan wanita yang ada di hadapannya ini. 

Dengan raut wajah bingung, si wanita mengangguk.

"Begini ..." jedanya seraya memperbaiki cara duduk supaya lebih nyaman.

"Kakak Anda sudah lama menderita kanker otak. Tiga bulan lalu, saat masih memasuki stadium 2, saya telah menyarankan untuk dilakukan operasi. Namun kini setelah discan ulang,  karena penyebaran kanker yang begitu cepat dan tanpa adanya tindakan operasi, kondisinya sudah meningkat menjadi stadium 3. Sel kanker telah menyebar ke organ tubuh lainnya," jelas dokter Herman secara gamblang.

"Apakah dengan operasi, kakak saya bisa sembuh, Dok?" tanya wanita itu lagi dengan raut wajah yang semakin terlihat cemas dan khawatir. Ia tidak menyangka jika kakak yang begitu disayanginya telah lama menderita kanker otak tanpa sepengetahuannya.

"Memang untuk kasus kanker otak agak sulit penyembuhannya apalagi sudah dikatakan stadium 3, persentasinya 5 di banding 100 orang. Namun kanker otak ada yang memberi respon baik dengan pengobatan (baik operatif, kemoterapi atau radioterapi). Jadi, tergantung apa jenis kanker otak yang diderita.

Dalam kasus kakak Anda, kanker yang dideritanya termasuk jenis sekunder di mana kanker berasal dari organ tubuh lain kemudian menyebar ke otak. Ada beberapa yang sembuh setelah mendapatkan pengobatan. Jadi saya harap kakak Anda segera melakukan operasi untuk pengangkatan sel kanker tersebut, setelah itu baru melakukan kemoterapi," tegasnya.

The Journey of WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang