-gluttony-
"Kita double date! Sujeong dan Taehyung," Jiyeon berpaling ke samping menatap Jimin, "Kau dan aku," kemudian sudut-sudut bibir Jiyeon bergerak naik ke atas, membentuk setengah lingkaran merah muda bersama kehadiran bulan sabit yang menyembunyikan manik coklatnya.
◊
"Whoa, akhirnya kau menatapku, Park Jimin-ssi!"
Alkohol. Jimin yakin ini karena pengaruh alkohol. Perempuan itu mabuk, walaupun dirinyalah yang sejak tadi minum tanpa henti. Hei, bagaimana bisa-
"Besok jam 10 di depan gerbang, ok?"
–ia kecan dengan makanan?
---
Jiyeon sudah bangun, meskipun ponselnya belum menunjukkan tanda-tanda akan mengeluarkan dering yang menggema.
Ia terduduk di atas kasur dengan cairan dingin memenuhi dahi. Kaus piyamanya setengah basah. Lemari pakaiannya membelah diri menjadi dua. Lantai kamarnya bergelombang membawa Jiyeon berlayar dengan kasur sebagai perahunya.
Tanpa nahkoda, ia tidak tahu akan dibawa ke mana. Pun Jiyeon tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya.
Mimpi itu datang lagi, sudah pasti.
Apel. Anak tangga. Permadani. Amber. "Paman, mau ke mana?"
Jiyeon meringkuk dalam selimut, memeluk kedua kaki dengan tangan bergetar seketika dirinya berhasil menarik napas panjang, menahannya lima detik untuk mengeluarkan karbondioksida dengan perlahan. Ia melakukannya lebih dari tiga kali, membuatnya berhasil ingat bahwa ia terbangun ketika "Paman, mau ke mana?" terlontar terus menerus dari belah bibirnya yang sudah sewarna dengan butiran salju.
Hembusan napas yang kelima belas atau mungkin lebih, Jiyeon berhasil mengambil ponsel dari atas nakas. Ia menyalakan stopwatch, kemudian menghitung jumlah detak jantung dengan menekan urat nadi di lehernya yang sudah banjir keringat.
Seratus delapan puluh detak dalam satu menit. Ini benar-benar jauh dari normal. Bahkan ketika fobianya sedang kambuh, jantungnya tidak pernah bekerja lebih dari seratus empat puluh kali dalam satu menit.
Paman, mau ke mana?
Jiyeon meringis, debaran jantungnya begitu kuat, begitu cepat. Bagaikan hujan kembang api kala puncak perayaan tahun baru. Dadanya nyeri dan bernapas dengan benar begitu sulit untuk dilakukan.
"Lupakan, Kim Jiyeon. Lupakan. Kau baik-baik saja," ucap Jiyeon perlahan, seraya terus mengatur napas.
Jiyeon mengatupkan kedua mata, menggambar seekor domba sedang membawa satu loyang pizza dalam benaknya. Perlahan, domba itu semakin banyak, membawa hidangan yang beragam untuk Jiyeon makan di padang rumput hijau bersama terpaan angin hangat di akhir bulan.
Tangannya kembali menyentuh leher yang mulai dingin sebab keringat yang mengering. Seratus tiga puluh kali dalam satu menit. Ia membaik.
Namun, ketika Jiyeon mengajak para domba untuk berdansa, sebuah truk tergelincir di puncak bukit, membuat ribuan apel yang dibawa menggelinding turun ke padang rumput sehingga para domba kabur tunggang langgang. Lebih dari itu, para domba berjatuhan kala menuruni tangga yang muncul secara ajaibnya. Padang rumput hijau berubah merah muda untuk menggulung semua keindahan dan tak luput juga dirinya. Lalu paman muncul,...
"Eomma!" Jiyeon terbatuk, nyaris kehabisan oksigen sedangkan ia tidak ingat sejak kapan ia mulai menahan napas. Jiyeon tidak tahan lagi. Jika kinerja jantungnya terus seperti ini, ia takut tak lama lagi organ vital itu akan berhenti berfungsi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Seven Sins
FanfictionPark Jimin hanya ingin sekali saja melihat sosok wanita yang melahirkannya ke dunia ketika ia ditugaskan untuk menjaga Six Sigma, enam bangsawan Pure-blood yang kabur ke dunia manusia. Menghisap darah Kim Jiyeon, mahasiswi kedokteran pengidap hemato...