5 (last)

7.9K 826 76
                                    

Aku masih ingat dengan jelas saat Kak Uno membiarkanku pergi tanpa halangan. Dia tidak berusaha mengejarku.

Oke, fine. We've done.

Semenjak kejadian itu, hubungan kami merenggang...dan pada akhirnya seperti tidak pernah mengenal satu sama lain. Aku juga sebisa mungkin menghindari Kak Uni. Aku udah capek sakit hati sendirian.

Hingga suatu hari...

==>

"Oh iya, Bu. Tidak apa-apa. Mohon maaf kalau rumah kami kecil." Mama memberikan ijin untuk sesuatu yang kubenci.

"Justru kami yang minta maaf karena merepotkan Bu Aji." balas Ibu Kak Uno.

Di ruang tamu, duduk berhadapan orangtuaku dan keluarga Kak Uno (Ayah, Ibunya, dan Kak Uni).

Singkat cerita, kemarin malam ada angin puting beliung disertai hujan lebat di kawasan rumahku. Aku pikir ini yang terparah sejak aku pindah ke kompleks ini. Banyak rumah tetangga yang gentengnya bermasalah, bahkan sampai ambruk. Rumahku juga sih, dua genteng kamar mandi copot sehingga atapnya bocor kena air hujan.

Dan ternyata, rumah Kak Uno yang ada di kompleks tetangga rusak parah. Bangunannya roboh semua. Tapi tidak ada yang terluka, karena semua keluarga Kak Uno tanggap berlari keluar ketika ada bunyi mencurigakan, kayu patah dan arap roboh. Malam itu juga, terpaksa Kak Uno dan keluarganya mengungsi dulu ke rumah tetangga terdekat.

Keesokan harinya, sebelum Shubuh, semua keluarga Kak Uno datang ke rumahku. Ayahnya bermaksud menitipkan Kak Uno ke keluargaku karena ketiga anggota keluarganya yang lain akan pergi ke Jogja, tinggal sementara waktu di rumah orangtua dari Ibu Kak Uno, sampai rumah mereka selesai diperbaiki.

Mereka terpaksa melakukan itu karena memang jalan itu satu-satunya yang tersisa. Kak Uno udah kelas 3. Kurang bijak kalau mereka memaksa Kak Uno ke Jogja dan meninggalkan sekolahnya dalam waktu lebih dari sehari. Sedangkan Kak Uni yang masih duduk di kelas 2, tidak masalah ikut ke rumah nenek-kakeknya.

Sejujurnya aku merasa ini agak ganjal. Aku bukan siapa-siapa Kak Uno, lagian dia kan punya temen. Mas Sono. Kenapa dia ga dititipkan disana aja? Kenapa malah milih rumahku? Namun, aku yang mengintip pertemuan kedua keluarga itu, tak berani berteriak dari tempat persembunyianku. Please, itu namanya bunuh diri kali.

Tepat adzan Shubuh, Kak Uno dinyatakan resmi tinggal untuk sementara waktu di rumahku.

==>

Uno POV.

"Tidur dimanapun Kakak suka." kata Win, menunggu gue di depan pintu.

"Gue terpaksa tinggal—" gue mencoba menjelaskan situasi gue yang membawa koper dan barang-barang tetek-bengek lainnya. Tapi Win memotong ucapan gue, "udah tau. Aku udah denger semua."

Gue cuma mengangguk. "Maaf.." tanpa dipersilahkan, gue masuk sendiri.

"Kenapa gak ke rumahnya Mas Sono?" tanyanya, tajam.

Gue gak ngerti mau dia apa. Katanya gue gak boleh sebut nama Sono di depannya, lah kok sekarang?

Gue cuma bisa menghembuskan napas pelan sebelum menjawab, "dia punya adek 3. Kasihan kalau gue jadi beban tambahannya."

"Oh." gue naruh koper di tempat kosong dan beranjak menuju lantai. Gue ngantuk.

"Mau apa?" tanya Win, menyelidik.

Dasar. Mentang-mentang gue cuma numpang, dia bisa bersikap seenaknya gitu? Cih..

"Tidur," balas gue malas. Tak perlu mendengarkan balasannya, gue berbaring dan mulai menutup mata. Gue tidur.

WINUNOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang