Malam harinya, ada panggilan dari kontak Kak Uni ‘gadungan’ di ponsel Win. Dengan kesal dia mengabaikan panggilan itu dan menutup telinganya dengan bantal. 30 menit berlalu. Win melirik ponselnya kembali. Ada 20 panggilan tak terjawab dari satu nomer yang sama. Baru sedikit bernapas lega karena bunyi berisik panggilan masuk udah berakhir, pintu kamar Win diketuk dari luar. “Win, ada temenmu.” Suara mamanya membuat bulu kuduk Win berdiri. Bukan, Mamanya bukan kuntilanak yang harus Win takuti. Dia hanya, ya, punya firasat buruk dengan aura kegelapan di balik pintu.
“Halo.” Uno membuka pintu kamar Win santai setelah tersenyum berterima kasih kepada Mama Win.
Yang disapa cuma mampu pasang wajah gak terima, “Kakak ngapain kesini?” selidik Win, penuh rasa was-was. Uno menutup pintu di belakangnya.
Melihat Sang Kekasih, Uno kembali tersenyum sumringah. Melupakan kenyataan bahwa Win telah mengabaikan 20 panggilannya, meskipun bisa dipastikan sekarang bahwa Win sengaja melakukannya.
“Sayang,” ucapnya lirih. Wakuncar alias waktu kunjung pacar adalah hal baru baginya. Apalagi ini hari Kamis, kelihatan keren banget gitu kalau apel di ‘kamis malam jum’at’. Antimainstream. Jadi gak heran kalau Uno mendapati dirinya berkali lipat lebih bersemangat daripada biasanya. “Udah makan?”
Win geleng-geleng kepala kuat. Dia harus memastikan bahwa semua ini hanya mimpi. Gak ada pacar cowok, ataupun pacar cowok yang masuk ke kamarnya.
Tapi Uno mengartikan lain. “Belum ya? Kalau gitu ayo keluar cari makan?” lanjut Uno.
“Nggak usah Kak, nanti ngrepoti,” Tersadar dengan kelakuannya yang memancing kesalahpahaman lain, Win mencari alasan yang tepat supaya Uno gak tersinggung.
“Ayo.” Nada bicara Uno berubah datar. Senyumannya ikut luntur tak berbekas. Melihat wajah sangar Uno muncul tepat di depannya, membuat Win tak kuasa mengatakan kalimat penolakan yang lain. Dia berjalan ke lemari dengan gontai. Tanpa rasa sungkan, dia mengganti kaos rumahannya yang bolong sana-sini dengan kaos yang lebih layak pakai.
Tak ingin membuat si Uno marah dan memporak-porandakan kamarnya, Win suka rela menarik tangan Uno keluar. Diperlakukan manis, senyum Uno kembali terbit. Win curiga, kenapa ekspresi kakak kelasnya ini gampang sekali berubah? Jangan-jangan dia punya bipolar? Mampus kuadrat. Kalau gak dibunuh, kayaknya aku bakal dibakar hidup-hidup deh sama dia, batinnya.
Begitu semua perizinan telah dikantongi, Win dan Uno pergi ke halaman rumah menuju motor matic Uno yang diparkir sembarang tempat. Mentang-mentang gak ada saingannya. Sebelum Win naik ke jok motor, Uno—tanpa disuruh—memasang jaket dan topi ke tubuh Win. “Gue lupa gak bawa helm cadangan, jadi sementara pakai itu dulu. Lain kali gue pasti bawa. Udah malem, dingin, Yang. Pakai jaket biar gak sakit.” Meskipun rada sakit hati karena diperlakukan mirip Putri, Win memilih diam dan menarik kembali alis matanya yang terangkat heran.
Bahkan, Win tetap diam ketika Uno membawa sebelah tangannya ke pangkuan cowok kembaran cewek taksirannnya itu. “Biar gak dingin, Yang.”
==>
Entah karena terbawa suasana atau memang kehendak hatinya, Win tetap menurut ketika Uno mengajaknya berkeliling ke taman kota. Waktu sudah menunjukkan hampir jam setengah sebelas malam, sewajarnya taman mulai nampak lengang. Hanya beberapa tempat tertentu saja yang dipenuhi dengan pedagang kaki lima sampai Shubuh.
“Mau makan apa, Yang?” tanya Uno. Mereka memilih gazebo dengan penerangan terbaik dari beberapa gazebo yang ada. Win yang mengusulkan hal itu, mengingat dia takut kalau Uno sampai memilih gazebo gelap dan memperkosanya disana. Aish, gak lucu.
“Gak mau. Masih kenyang, kak. Kakak gak makan?” balas Win, setengah gak ikhlas. Oh ya, mungkin kalian bertanya kenapa Win gak pernah menolak waktu Uno memanggilnya ‘sayang’, ‘yang’, atau panggilan romantis lainnya. Alasan utamanya tetap sama, Win takut mati dibunuh atau dibakar hidup-hidup.
“Nggak, sebelum jemput lo, gue udah makan martabak. Lo kenyang makan apa? Tadi katanya belum makan.” Bujur Uno bersikukuh.
“Nggak. Udah kenyang. Yaudahlah, kita duduk-duduk aja disini, lihat bintang.” Balas Win, ngeles. Dia capek denger bujukan Uno yang 120x lebih kelihatan memaksa itu.
“Yaudah.” Uno menurut, lagipula gak ada salahnya kan kalau acara makannya diganti sama hal romantis kayak begini? Lihat bintang, wuiss, terlihat keren. Apalagi cuma berdua sama pacar. Seolah dunia milik mereka berdua, yang lain ngontrak.
Perlahan, Uno menyandarkan kepalanya ke pundak Win. Win, si Korban, meringis kikuk. Untungnya di sekitar mereka gak ada orang lalu lalang. Malu lah. Masa cowok mesra-mesraan sama cowok, di tempat umum lagi?
“Gue seneng deh,” kemudian ganti tangan Win yang dimangsa. Uno menggenggam tangan yang lebih kecil darinya itu erat. “Ini pertama kalinya ada yang suka gue. Rela jadi pacar gue, ngajakin gue jalan dan lihat bintang. Jujur aja, gue rela menyerahkan semua cinta gue buat lo. Jadi…jangan pernah berpikir buat ninggalin gue. Gue sayang lo, dek.”
Setelah melirik wajah Uno di bahunya yang kelihatan damai, Win memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia sedikit merasa bersalah telah melibatkan orang lain. Dia gak ingin menyakiti perasaan Uno yang (sepertinya) tulus menyukainya. Dia belum siap mengatakan sejujurnya. Gak malam ini.
Hanya untuk hari ini, Win ingin menuruti rasa kemanusiaannya, iba. “I know,” balasnya lirih, sembari mengusap lembut pipi tirus Uno dengan tangannya yang bebas.
Mendapat respon positif dari pacarnya, Uno kembali memindahkan kepalanya ke pangkuan Win. Dengan seenak udelnya dia menjadikan paha berbalut training hitam Win sebagai bantal. “Yang, lo kalau dilihat dari dekat manis juga. Apalagi mata lebar lo tanpa kacamata, cantik.” Uno terkekeh.
“Aku gak cantik! Makasih.” Balasnya, mengerutkan alis kesal sekaligus senang dengan pujian Uno.
Uno tertawa renyah melihat reaksi absurd kekasihnya. Tiba-tiba, “Yang, boleh cium?” Uno meminta lebih dari sekedar pegangan tangan.
Win tersenyum kecut, dia sudah menduga Uno adalah tipe manusia yang ‘dikasih hati, minta jantung’. Namun, bagaimanapun caranya, dia harus menemukan alasan logis untuk menolak ajakan konyol Uno. “Kak, aku belum siap. Aku belum pernah ciuman.”
Sayangnya, Uno tidak butuh alasan apapun. Secepat kilat, dia menarik wajahnya tepat ke depan Win. Kemudian kecupan singkat mendarat ke bibir kering Win.
Win mematung. Batinnya berperang. Dia bimbang antara menampar Uno kemudian pulang, atau diam menikmati ciuman dari orang lain—yang menjadi pengalaman pertama baginya. Namun akhirnya, napsu lah yang menang.
Sebagai seorang pemula tanpa pengalaman, Win bergerak kaku seperti robot. Setelah memastikan sikon aman, dia memandang wajah Uno datar. Uno mengira, Win akan membunuhnya. Tapi tidak, Win mengalungkan lengannya canggung ke leher Uno. Tanpa permisi, Uno bergerak secara agresif dan meraup bibir Win. Win tidak pernah berciuman, tapi dia sedikit paham sekarang kenapa banyak orang menyukai sentuhan fisik ini—karena dia selalu membayangkan Taylor Swift saat berciuman. Jadi ketika Uno mendorong tubuhnya menjauh, dia sedikit merasa kecewa. Namun, dia enggan mengekspresikannya.
Seolah bisa membaca raut kesal yang dengan apik disembunyikan kekasihnya, Uno tersenyum menjelaskan. “Kita perlu oksigen, sayang. Lagian, gak usah buru-buru. Let it flow.”
Win mengangguk mengerti, sedikit malu-malu karena salah arti.
Setelah itu, Uno dengan telaten mengajari Win cara menjadi pencium yang baik. Kalau boleh jujur, dia memang tidak pernah punya pacar, tapi kalau urusan ciuman…dia sering mencoba dengan Sono, teman sepermainannya. Ah ya, hanya teman. Gak lebih.
Setengah jam kemudian, mereka bersiap pulang dengan perubahan perasaan masing-masing.
==>
![](https://img.wattpad.com/cover/96861082-288-k226825.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
WINUNO
Random[Boyslove] Jadi korban IPTEK sepasang anak kembar memang bukan ide bagus. Apalagi urusan perasaan. Satu kesalahan sepele.. Kelar deh hidup lo.