Aku Penikmat Rindu

155 7 5
                                    

Namaku Senja, saat ini aku berusia 22 tahun. Aku terlahir dari keluarga yang tak teramat mewah, bisa dikatakan dari keluarga sederhana. Aku sangat menyukai hujan, dengan hujan aku bisa menyampaikan rasa yang beberapa tahun ini terpendam. Bersama dengan setiap rintiknya, aku menikmati rindu yang selalu bersemayan dalam hatiku. Entah sudah berapa lama aku menyukai hujan dan menjadikan hujan sebagai tempat penampung rinduku. Barangkali ia selalu dapat menyembunyikan kesedihanku, membawanya mengalir sampai ke hilir.

Ayahku pernah suatu hari bertanya padaku, "Senja, tahukah kamu hal yang paling membahagiakan di dunia ini yang bersamanya kita merasa damai dan bahagia?" Aku menggeleng, mencoba memahami pertanyaan ayahku yang tak pernah kutemui sebelumnya. "Hal bahagia itu saat kita bisa merasakan hujan sekaligus menyampaikan rindu. Rindu itu bukan saja hanya umtuk orang yang spesial dalam hidup kita, tapi rindu yang lebih mendekatkan kita pada sang pencipta. Setiap rindu yang kau sesap tak akan pernah ada habisnya. Ya, hujan selalu paham persoalan tentang rindu. Jika suatu saat nanti kau benar-benar merasakan rindu yang teramat dalam, berdoalah Nak, semoga Tuhan mengirimkan hujan yang deras. Bawalah ia dalam dekapan hujan."

Semenjak saat itu entah apa pasalnya aku selalu menjadi penikmat rindu dan hujan. Tak peduli seberapa menyakitkan rindu yang datang. Aku selalu menikmati dan mendekapnya erat-erat, dan tidak pernah melepasnya walau sesaat. Ia cukup untuk membuatku merasakan hujan, betapa bahagianya saat itu. Menikmati dua hal sekaligus dalam satu waktu.

Orang bilang rindu itu menyakitkan, mengecewakan, dan lebih banyak lagi pernyataan tentang rindu. Tapi, bagiku rindu teramat indah di setiap jengkalnya. Kau tahu rindu lebih banyak membuatku untuk menikmati setiap proses yang harus dilalui, membuatku merasakan betapa dekatnya Tuhan dan kita. Tapi sayang, tak banyak orang menyukai rindu. Dulu aku juga sempat membenci rindu dan hujan yang terkadang datang bersamaan, bukan tanpa sebab. Beberapa memori kejadian itu mulai berterbangan dikepalaku. Ah, sudahlah bagiku saat ini rindu dan hujan adalah kenikmatan yang tiada batas.

Pernah suatu ketika temanku bertanya apa makna rindu yang sebenarnya. Aku terdiam sesaat, menyebar pandangan ke seluruh ruangan kelas. Perlu diketahui saat itu aku masih berusia 18 tahun. Usia yang sangat labil untuk sekedar mengetahui makna tentang rindu. Temanku kembali bertanya untuk memastikan apakah aku mengerti pertanyaannya atau tidak. Ia bergeming sesaat dan diam.

"Bagiku rindu adalah bahagia. Kau tahu dengan merindukan seseorang aku dapat lebih memahami arti kehadiran. Bisa lebih memahami arti kebersamaan. Dan yang lebih sederhana lagi aku dapat memahami sebuah perpisahan. Sederhana bukan, Ren?"

"Tapi rindu bagiku adalah sebuah siksa. Munculnya sebuah kesedihan. Apalagi saat hujan datang secara bersamaan dengan rindu. Sungguh rasanya menyakitkan, Nja."

"Aku justru bahagia saat mereka--hujan dan rindu-- datang bersamaan. Pasalnya mereka dapat berdamai dengan keadaan, apapun kondisinya. Mereka tahu waktu yang pas umtuk dapat mengunjungi, sekadar menyapa atau bahkan memutuskan untuk menetap."

"Lalu bagaimana dengan dia, Nja?" Aku lagi-lagi membuang pandangan ke seluruh ruangan, aku tak ingin Rena mengetahui jawaban dari sorotan mataku.

"Aku tahu kamu masih memikirkannya. Dan aku paham seperti apa yang telah kamu jelaskan diawal tadi, bahwa hujan dan rindu sangat menyenangkan. Lalu seberapa kuat kamu untuk bertahan, Nja?"

Aku tak dapat menjawab pertanyaan itumsecara langsung, butuh waktu dan ketenangan. Tak bisa spontan. Apapun yang terjadi aku lebih senang untuk menikmatinya dalam diam. Entah seberapa menyakitkan hal itu.
***
Saat ini usiaku sudah 22 tahun, bukan usia yang muda lagi untuk bermain-main dengan cinta. Meski terbilang sangat mida untuk sekadar memikirkan tentang pernikahan. Siapa yang tak bermimpi dengan hal itu? Semua pasti menginginkannya.

Setiap orang memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai pernikahan. Semenjak saat itu aku selalu mengunir impian itu dalam-dalam. Mengenangnya di tiap tetesan hujan, dalam kalbu rinduku bersamayam, Malam.

"Kau tahu hal terindah saat senja bergegas pulang ke tempatnya. Ialah menatap dan merindukannya. Keindahan yang tak cukup untuk dinikmati sekali duduk, butuh waktu sekian lamanya untuk mendapat keindahan yang sempurna. Ehm, tapi terkadang hujan tega merusaknya. Ia datang tanpa tanda."

"Kamu salah Malam, hujan tak seburuk yang kau kira. Senja semakin temaran dengan hadirnya hujan. Kau tak pernah tahu itu."

"Ok...ok... terserah apa pandangan kamu tentang hujan, tapi aku tetap tidak pada hujan apapun alasannya."

"Di setiap hujan yang datang ia selalu membawa rindu yang bersemayam, Malam. Ia dengan baik hati menyampaikannya sepanjang ia mampu."

Percakapan senja itu seperti biasa tak mendapatkan simpulan yang pasti. Selalu ada perbedaan pendapat. Tapi, saat itulah waktu yang kurindukan setelah keputusanmu meninggalkanku. Diwaktu yang bersamaan aku seketika membenci hujan. Kebencian akan hujan itulah yang membuatku jatuh teramat dalam. Membawaku lebih jauh mengarungi samudera kerinduan. Menyesakkan jiwa.

"Aku selalu mencintaimu senja, meski terkadang perbedaan antara aku dan kamu menjadi penghalang antara kita. Kau menyukai hujan dan aku tidak. Maaf, aku harus pergi, kau jangan khawatir setiap minggu aku akan mengirimkan surat untukmu."

Sempurna hujan turun semakin deras membasahi pertiwi dan aku masih menangis di bawahnya. Tak dapat lagi kumelangkahkan kakiku, kaku dan beku.

Kini setiap hujan datang aku selalu menghindar meski terkadang suaranya semakin kencang. Menutup telinga dengan bantal atau bahkan mengunci rapat-rapat di kamar mandi, hanya untuk menghindari suara gemericik hujan. Tapi sayang sekuat apapun aku menghindar, hujan selalu menemukanku dalam keadaan hati yang basah dengan kerinduan.

Hujan dan RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang