Kali Pertama

29 2 0
                                    

Panas yang memanggang ubun-ubun membuatku tak mampu untuk berkutik siang itu. Dibawah terik matahari aku berdiri menunggu kedatangan bus, meski di sekitar masih banyak pohon itu tak mampu untuk menghalau cuaca panas. Barangkali sebentar lagi hujan turun.

Aku menghembuskan napas kesal, sesekali melihat jalan untuk memastikan apakah ada bus yang lewat atau tidak. Namun 30 menit telah berlalu bus yang akan kutumpangi tak kunjung datang. Sebentar lagi hujan pasti turun, hawa panas berubah menjadi hawa dingin. Angin menembus apa saja yang dilaluinya, langit berubah menjadi kelabu, sedikit terdengar petir yang menyambar. Aku bukan tak mau mencari tempat untuk berteduh, tapi selalu kukatakan aku menyukai hujan. Dan itu caraku untuk menikmati kesendirian dan kesepian.

Tak butuh waktu yang lama untuk menunggu hujan turun, sebentar saja bumi sudah basah dengan hujan siang ini. Berputar-putar di bawah tampiasnya dapat melepaskan segala penat yang ada dalam jiwa. Menyesap butiran-butiran hujan menjadikannya lebih terasa nikmat. Saat aku menikmati hujan, tiba-tiba hujan itu tak lagi mengguyurku padahal hujan masih terasa deras, sangat deras. Aku mendongak, payung berwarna merah melindungiku. Seorang laki-laki sedang memayungiku, matanya menatap heran, mengibaskan bajunya yang terkena cipratan air hujan dariku. Usianya terlihat lebih tua dariku, 3 atau 4 tahun di atasku. Berarti dia berusia kisaran 25 tahun.

"Hei apa yang kamu lakukan di bawah hujan deras seperti ini?" Percakapan pertama antara aku dan dia, di bawah hujan yang bertandang.

"Seperti yang kamu lihat aku sedang bermain hujan. Sangat menyenangkan." Jawabku dengan nada agak datar.

"Tidak ada yang lebih menyenangkan lagi selain bermain-main dengan hujan?"

"Tentu tidak. Aku selalu menikmati hujan saat ia datang. Rintikan pertamanya membuat hatiku merasa damai dan basah."

Belum sempat meneruskan penjelasanku laki-laki itu berjalan meninggalkanku. Hujan kembali membasahi tubuhku.

"Hei siapa namamu? Terima kasih sudah bersedia memayungiku tadi."

"Kaino. Santai saja, cepatlah pulang nanti ibumu marah."

"Baik terima kasih."

Ia berlalu bersamaan dengan munculnya bus yang akan kutumpangi. Berlalu diantara hujan yang semakin deras, hilang dan entah ke mana arah perginya. Yang jelas itu tadi manusia bukan yang lainnya. Aku segera naik bus yang berhenti dihalte, tidak ada siapa pun selain diriku di tempat itu. Beberapa orang menghindar saat aku melangkah masuk, bukan karena jijik atau apa barangkali karena bajuku yang basah kuyup. Aku tetap melangkah masuk mencari sandaran yang nyaman, perlu diketahui bus saat itu penuh. Aku melihat ke luar bus, barangkali melihatnya lagi, tersenyum lagi dan lagi. Ini kali pertama aku tersenyum setelah memutuskan untuk menutup hatiku semenjak saat itu.
***
Sore kembali datang dengan suasana yang berbeda, kali ini terukir senyum simpul yang memanja di bibirku. Polesan kuning keorensan menambah cantik senja saat ini. Meski tak secerah hari kemarin, senja hari ini sangat memukau. Terlihat sisa-sisa hujan yang mengguyur siang tadi juga sisa kehangatan yang bercampur  bau tanah. Aroma yang berbeda dari lainnya.

Terpikir dalam benakku tentang kejadian siang tadi, mata tajam yang aneh dan sekaligus memesona. Sepertinya kali ini aku benar-benar terpukau. Entah apa yang membuat hal itu terjadi, bukan rekayasa. Tapi, bagaimana caranya aku bisa menemukanmu kembali. Dunia ini begitu luas, tak mungkin aku menelusurinya secara bergantian. Barangkali esok, lusa atau kapan kita dapat bertemu kembali. Semoga saja.

"Senja, kamu sedang apa Nak, kok melamun?" Suara lembut itu mengagetkanku.

"Ibu... ngak kenapa-kenapa Bu, Senja sedang menikmati sore yang lembut."

"Benar kamu sedang tidak memikirkan apa pun? Matamu tidak dapat berbohong , Nak." Ibu langsung dapat membaca pikiranku. Ah, firasat seorang ibu memang tidak bisa dibohongi. Aku tersenyum simpul, pipiku makin merona.

"Cerita sama ibu, tidak ada salahnya kan bercerita kepada ibu."

"Iya, Bu. Tadi sepulang dari tempat kerja Senja bertemu dengan seorang laki-laki, ia begitu baik, Bu."

"Lalu..."

"Senja suka, Bu. Tatapannya tegas dan berwibawa."

"Ehmmm..." Ibu hanya bergeming, lalu menatap luar jendela yang sebentar lagi matahari akan memasuki peraduannya.

"Rasa suka dan cinta terkadang beda tipis Senja. Dari rasa suka dapat menimbulkan rasa cinta. Dan dengan cintalah kita menyukai seseorang. Tak ada yang dapat menepis keberadaannya. Kedatangannya yang tiba-tiba tidak dapat membuat orang bersiap-siap untuk menerimanya. Bagaimana mungkin untuk mempersiapkan semuanya, sedangkan ia begitu cepat membuat hati terpana. Cepat dan singkat."

Aku mencoba mencerna perkataan ibu, meyakinkan hati bahwa semua akan baik-baik saja.

"Satu hal yang perlu kamu ingat, bahwa pertemuan pertama sering kali membawa dampak yang teramat besar untuk masa selanjutnya. Lihatlah sekali lagi, seperti apa ia dan bagaimana ia. Ada banyak cara orang asing membuat kita terpana, berpura-pura misalnya. Jangan sampai hatimu terporsir untuk memikirkan dia saja."

"Baik, Bu. Tapi mengapa banyak orang yang terkadang suka pandangan pertama, padahal mereka belum tahu seperti apa?"

"Masing-masing orang memilki sifat dan pandangan yang berbeda, bisa jadi menurut orang lain pandangan pertama adalah kesan pertama untuk melihat baik buruknya. Atau juga sebagian lagi memutuskan bahwa jumpa pertama merupakan hal yang takkan terlupakan. Seperti yang ibu katakan antara rasa suka dan cinta beda tipis, Senja."

"Tidak ada yang salah menyukai ataupun mencintai pada pandangan yang pertama, yang kadang keliru adalah bagaimana kita menanggapi dan mengolahnya menjadi cinta yang abadi. Itu saja. Sudah, ini sudah hampir sore, ibu ke dapur dulu untuk mempersiapkan makan malam." Aku hanya mengangguk, memikirkan langkah selanjutnya. Bagaimana mungkin aku bisa bertemu dengannya lagi jika saat itu hanya sebuah kebetulan saja. Tak mungkin aku mengulanginya. Apakah mungkin ada 'kebetulan-kebetulan' lainnya esok? Entahlah.

Kali pertama yang kebetulan dan tak terduga, membawaku terhayut dalam rinaian kerinduan. Hujan pun tak segan-segan untuk bertandang pabila kuingat saat itu. Matanya yang tajam senada dengan rintikan hujan yang semakin deras. Menghujam dan menyejukkan jiwa. Barangkali esok akan berbaik hati mempertemukanku lagi dengannya, melalui kebetulan yang tak terduga. Semoga saja Tuhan.

Hujan dan RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang