Malam mulai merangkak naik sementara Krysan masih bergelung di atas sofa empuk berwarna gading. Masih menangis walau tanpa suara. Masih merasakan perih akibat penolakan dari kedua manusia yang dicintainya selama ini. Namun suara bel berbunyi yang berasal dari depan flatnya memaksanya untuk bangun. Dan betapa terkejutnya ketika ia melihat lelaki bermata hijau yang dicintainya berdiri di sana. Memunculkan harapan demi harapan yang tadi sempat terkubur dalam-dalam. Namun raut wajah lelaki itu menampakkan rasa yang dikiranya tak akan pernah memancar dari wajah lelaki itu. Rasa iba dan kasihan.
Ia menggenggam tangan Krysan yang rapuh, yang selalu membuat debar jantung Krysan menghentak bertalu-talu. Tak sampai sedetik, lelaki itu melepaskan genggamannya. Sebagai gantinya ia memberikan Krysan sepucuk surat beramplop biru muda, warna kesukaannya. Dahinya tertaut, tak mengerti dan mencoba mencari kejelasan di mata hijau yang kini tengah memandangnya. Bibir lelaki itu bergerak, mengucapkan sesuatu yang dapat Krysan mengerti dan memangkas habis harapan-harapan yang tadi sempat timbul. Maaf. Dan lelaki itupun pergi dari hadapannya.
Sekuat tenaga Krysan mencoba untuk tetap berdiri walau rasanya ia tak mampu lagi menopang berat tubuhnya. Dengan gemetar Krysan menutup pintu flatnya dan kembali meringkuk di atas sofa. Sebuah surat. Penjelasan. Lelaki itu lelah menjelaskan dan berharap dengan sepucuk surat Krysan dapat mengerti.
Dear Krysan,
Aku minta maaf karena meninggalkanmu seperti ini. Kau begitu cantik dan luar biasa, namun aku menyadari bahwa itu saja tak cukup untuk membangun sebuah keluarga yang bahagia. Kamu sempat hadirkan cinta. Yang pada awalnya kurasa itu untukmu, namun dengan berjalannya waktu ternyata cinta yang telah kau tanamkan dalam diriku, harus kubagi dengan orang lain. Aku harus memilih Krysan dan aku minta maaf, aku memilih orang lain.
Terimakasih karena berkat dirimu aku merasa memiliki semangat dan mensyukuri kehidupanku.Terimakasih karena dengan dirimu di sisiku, mengembalikan satu rasa yang dulu sempat tiada. Semoga kau segera menemukan kebahagiaanmu.
Yang Selalu Menyanyangimu,
Andrew Garlich
Air mata membasahi surat tersebut, membuat huruf-hurufnya mengabur dan tak dapat dibaca lagi. Namun Krysan rasa itu sudah tidak perlu. Cintanya sudah habis untuk lelaki bermata hijau itu dan rasanya ia tak sanggup lagi untuk mencintai. Krysan menyadari bahwa lelaki itu pasti lelah berkomunikasi dengan wanita seperti dirinya, yang tidak sempurna bila dibandingkan dengan Jasmine, sahabatnya. Mungkin Andrew lelah dengan bahasa isyarat yang selalu ia gunakan ketika mengobrol dengan Krysan dan maksud pembicaraan yang kadang telat dicerna akibat keterbatasannya. Krysan sadar sepenuhnya dan ia harus belajar merelakan. Cintanya bukan untuknya.