Kembali Krysan meremas dada kirinya, demi mengurang hentakan jantungnya yang semakin tak terkendali. Matanya menatap sang wanita yang kini berbicara padanya. Krysan tak sepenuhnya mengerti akibat gerak bibir wanita itu yang cepat dan tak mampu ditangkap oleh matanyaa. Krysan hanya menatap mereka bingung, mencoba memahami apa yang terjadi.
Sang lelaki menggeleng lemah. Lelah karena Krysan tak juga mengerti. Lelah karena perempuan yang rapuh namun terlihat cantik itu tak pernah memahami. Krysan tidak buta tentu saja untuk segera menyadari bahwa ada yang salah di antara dirinya dengan wanita cantik di hadapannya, yang sebenarnya bukan kesalahan. Lima tahun ia berusaha untuk menerima Krysan sepenuh hati, namun sosok Krysan yang selalu dibayang-bayangi Jasmine di belakangnya semakin menggeser posisi Krysan dalam hatinya, terlebih Jasmine selalu tahu apa yang diinginkannya. Kenapa Krysan bisa sebuta itu untuk baru menyadari sekarang? Batin pria itu. Ia hanya bisa membatin, toh jika dia berbicara pun belum tentu Krysan akan mengerti.
Lelaki itu bangkit dari duduknya setelah sebelumnya melepaskan genggamannya dengan Jasmine. Tubuhnya ia arahkan ke arah Krysan, memperpendek jarak di antara mereka agar Krysan dapat mengerti lebih baik apa yang ingin diucapkannya. Tak lagi ia menggunakan isyarat apapun, karena ia sudah lelah dengan semua ini. Ia lelah dengan hubungannya dengan Krysan.
Hanya satu kata yang dapat ditangkap oleh Krysan. Satu kata yang diucapkan lelaki itu tanpa adanya sorot rasa bersalah dan diucapkannya dengan sungguh-sungguh. Pulanglah. Satu kata yang dapat dimengertinya dan dapat dilihatnya dengan baik walau matanya masih buram, karena tak hentinya air mata keluar dari muaranya. Krysan sempat terdiam sejenak, tak menyangka bahwa seperti ini rasanya penolakan. Sejak dulu hingga lima tahun kemarin, ia cukup kebal dengan adanya penolakan dan tatapan iba dari orang sekitarnya, namun satu hari di lima tahun terakhir, ia merasakan bahwa ada manusia yang dapat menerimanya, seluruhnya, segala kekurangan dan kelebihannya. Membangun semangatnya yang porak-poranda, mengembalikan kepercayaannya. Dan hal itulah yang membuat Krysan berani mengatakan perasaannya pada lelaki bermata hijau itu. Cinta, yang diucapkannya dengan terbata dan susah payah.
Krysan berbalik, memunggungi lelaki yang dicintainya dan wanita cantik yang diakui sahabat terbaiknya selama ini. Ia berjalan dari kafe itu dengan bahu lunglai dan wajah yang tak berani ia tengadahkan. Kakinya terasa lemas untuk dipakai berjalan namun Krysan tak peduli lagi. Benar apa yang dikatakan lelaki tadi. Ia harus pulang, tempatnya memang bukan di sini. Pulanglah. Pulanglah.