Aninda memandang kagum pada awan awan yang tampak seperti gumpalan kapas. Dia selalu suka penerbangan pagi dengan cuaca yang cerah, karena saat-saat seperti itu, awan-awan akan tampak sangat indah. Aninda tersenyum sambil memejamkan matanya. Dalam hati dia bersyukur atas nikmat Allah yang sangat sempurna pagi ini. Cuaca yang cerah, Bali, dan Alee yang menautkan jari-jari tangan mereka.
"Tangan kamu dingin banget" tanya Ale
"Iya, pesawatnya dingin sih"
"Masa? Bukan grogi sama aku?" Goda Alee lagi.
"Ya engga lah, masa grogi sama suami sendiri"
Mulutnya boleh lantang dan santai, tapi jauh di hati Aninda membenarkan perkataan Ale. Selain memang kabin pesawat sangat dingin, dia juga masih sedikit grogi saat berdua dengan Alee.
"Oh gitu" Ale tersenyum mengejek.
Aninda yang melihat itu, reflek melepaskan genggaman ale dan mencubit paha lelakinya itu.
"Aw, cubitnya gemes gitu ya sayang"
Aninda yang tidak tahu harus menjawab apa, hanya masang wajah manyunnya.
"Aduh, muka istri aku cantik banget loh kalo lagi gitu. Jadi gemes pengen dicium'
Aninda langsung membekap mulut Ale dengan tangannya. Matanya mengisyaratkan Ale untuk tidak bicara yang aneh aneh, takut terdengar oleh seorang kakek yang duduk di sebelah Ale.
Ale melepaskan tangan Aninda dengan tangannya, lalu mencium tangan Aninda lembut.
"Kakeknya lagi tidur sayang. Lagian gak apa-apa kok, kan orang akan maklum sma newly wed kayak kita." Jawab ale sambil mengedipkan mata kirinya.
Wajah Aninda sudah memerah, entah karena malu atau karena Ale yang sejak tadi tidak pernah berhenti menggodanya.
"Tuh kan, kamu kalo digodain dikit udah merah mukanya. Gimana aku gak gemes"
Aninda membenarkan dudukannya, memeluk lengan kiri Ale dan bersandar pada pundaknya.
"Udah ah, aku mau tidur aja. Daripada digodain kamu terus" ujar Aninda dan langsung memejamkan matanya, tidak untuk benar-benar tidur.
Ale lagi-lagi dibuat tersenyum oleh tingkah istrinya ini. Mereka memang baru menikah dua hari yang lalu, tapi Ninda masih begitu malu malu. Mungkin karena penjajakan mereka selama ini dilakukan jarak jauh. Bagaimana pun Ale menyukai semuanya. Selama ini, melalui chat-chat mereka Nindalah yang selalu mendominasi, Ninda selalu pintar mencairkan suasana. Tapi pada kenyataannya, baru di goda sedikit saja, wajahnya sudah memerah.
--
"Sayang, makan dulu yah, aku laper banget." Ujar Ale sambil menganggat koper terakhir mereka ke trolli.
Ninda hanya mengangguk dan mengikuti langkah Ale menuju salah satu kedai fastfood di bandara. "Mau apa le, aku pesenin, kamu tunggu sini aja." Ale menarik kursi kemudian duduk.
"Makasi sayang. Hem... Double cheeseburger sama ayamnya dua, gak pake nasi ya"
Ketika Ninda baru saja berbalik Ale memanggilnya.
"Nin, ini" ujar Ale memberikan kartu kreditnya.
"Pake uangku aja le"
"Nin, ambil" ujar Ale dengan mimik dan intonasi yang sangat serius.
Ninda pun mendekat. Mengambil kartu dari tangan Ale tanpa berani menatap mata lelaki itu.
"Pin nya tanggal nikahan kita" ujar Ale masih dengan intonasi yang sama. Nindapun hanya mengangguk dan berjalan meninggalkan Ale.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Love Really Means
RomanceBukan hanya menyatukan dua hati. Bukan persoalan menyatukan dua keluarga. Tapi bagaimana menyelaraskan banyaknya perbedaan antara Ale dan Ninda. Tentang pilihan-pilihan yang mereka ambil, tentang peluang-peluang yang mereka lewatkan. Tentang salin...