Anindya menyusuri jalan Boulevard yang tepat menghadap ke pantai. Sore hari, jalanan kota Manado memang selalu penuh sesak. Ninda lebih suka berjalan kaki sambil menikmati detik-detik matahari tenggelam daripada bermacet-macet ria di angkot. Sepanjang jalan ada banyak kedai makanan, yang hampir semua pernah Ninda singgahi. Sendirian.
Ninda memasuki kedai seafood bakar langganannya, duduk menghadap ke arah laut dan memesan seporsi makan malam. Jam menunjukkan pukul 05.30 WITA saat handphonenya berdering. Bukan dari kantor, Ninda menghela nafas lega saat melihat nama Saski di layar handphonenya.
"Assalamualaikum, Halo Meghan apa kabar?"
"Waalaikum salam, maaf salah sambung ya mbak," Jawab Ninda bercanda
"Eeeeh waiiit, becanda kali, sensi amat Non?"
"Lagian manggil gue Meghan mulu dari kemaren, emang gue segendut si Meghan itu apa?"
"Dih pede, siapa bilang lu mirip Meghan Trainor? Maksud gue Meghantropus Erectus" Kemudian terdengar tawa renyah Saski di seberang.
"Sial" umpat Ninda, tapi tak ayal dia tersenyum juga.
"Oh iya, kapan pulang sih Nin? Minggu depan kan nikahannya Tami, lu dateng kan?"
"Iya liat nanti, diusahakan. Seragam buat gue udah jadi kan?"
"Udah, makanya gue mastiin lu pulang kapan. Sekalian nitip oleh-oleh, anak gue katanya pengen di bawain sambel ikan roa."
"Anak lu baru umur dua tahun ya, bilang aja emaknya yang ngidam ikan Roa!"
"No baby, adeknya Ray yang diperut lagi pengen sambel ikan roa nih, seriously."
"What? Are you going to have another baby?"
"Iya sayang, aku hamil 2 bulan. Doain ya, biar lancar sampai melahirkan."
"I'm happy for you Sas! Congratulation ya"
"Thank you..., terus lu gak kepengen nyusul gitu Nin? At least, punya pacar kek, temen deket kek. Apalagi sih yang lu cari. Jangan kebanyakan kerja."
"Yang gue cari calon suaminya lah, kalo nikah bisa sendiri, besok pagi gue ke KUA kali." Ninda menangggapinya dengan bercanda.
"Gue serius, tahun depan lu udah mau 25 ya. Go fishing baby!"
"Lu jauh amat dih mikirnya, bulan depan gue baru juga 24. Nah karena lu ingetin, mending lu siap-siap kado deh."
"Gampang, lu mau apa? Lakik? Gue cariin" Mereka pun tertawa bersama, sebelum akhirnya Ninda mendengar tangisan Ray, anak Saski.
"Sorry say, Ray bangun, lain kali kita sambung lagi ya. Bye"
Saski langsung mematikan sambungan tanpa menunggu jawaban Ninda. Tapi ninda maklum dengan semua itu. Sejak sahabatnya itu menikah mereka sudah tidak bisa telfonan berjam-jam, Saski tentu saja sudah sibuk mengurus suami dan anaknya. Ninda meletakkan handphonenya dan menyantap makan malam yang sudah tersaji di depannya. Raganya disana, tapi pikirannya melayang entah kemana. Sudah beberapa bulan terakhir, dia merasa jenuh dengan rutinitasnya. Belum lagi satu-per satu temannya sudah mulai menebar undangan.
Sebenarnya dia bukan tidak terganggu dengan semua komentar dan pertanyaan orang tentang hubungan asmaranya. Apalagi kalau sudah membawa-bawa orang tua dan usia. Ninda bukan tidak memikirkan itu, hanya saja memang pekerjaannya menuntut pikirannya untuk selalu fokus. Belum lagi klien yang lebih dari tiga kali sehari menelponnya. Dan juga sebagai seorang busniness development team leader di salah satu konsultan IT, Ninda harus sering pergi keluar kota untuk menemui klientnya. Bahkan hampir setiap 2 bulan sekali, dia berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Di satu sisi bisa bekerja sambil mengelilingi kota-kota di Indonesia adalah impiannya, namun akhir-akhir ini, Ninda mulai bosan dengan kegiatan itu. Karena hidup nomaden seperti itu hampir selama tiga tahun, ninda banyak kehilangan waktu untuk keluarga dan teman-temannya. Dan tentu saja melewatkan untuk mengenal seseorang secara serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Love Really Means
RomanceBukan hanya menyatukan dua hati. Bukan persoalan menyatukan dua keluarga. Tapi bagaimana menyelaraskan banyaknya perbedaan antara Ale dan Ninda. Tentang pilihan-pilihan yang mereka ambil, tentang peluang-peluang yang mereka lewatkan. Tentang salin...