Bacanya pelan-pelan, nikmati. Jangan lupa putar mulmednya juga.
🍃
Menunggu angin bertiup, dan luka robek itu terasa semakin menjadi. Aku tidak sanggup menahan sepi itu. Hanya dengan adanya hadirmu, maka sirna segala lara. Jauh, di dasar jiwaku...
Bagaskara Sutarda tetap memandangi wajah wanita yang duduk di sampingnya, Oosaki. Ada sedikit sakit tertorehkan, ini yang membuat ia tertegun. Bagas menggerakkan tangannya perlahan menyentuh perut buncit wanita itu, lalu dengan sayang menciumnya. "Aku janji bakal nikahin kamu."
Oosaki mengukir senyum ketika Bagas memeluknya. Waktu yang terlewati atau bahkan bahkan kisah-kisah indah yang mereka lalui, itu terjalin begitu manis. Langit di atas sana, ada sekelibat angan besar. Bagas dapat merasakan balasan kecupan hangat ketika ia mengeratkan pelukannya pada Oosaki, semakin menekankan dirinya di sore yang dingin itu. Lambat laun wanitanya melemah, ia merebahkan tubuhnya di tengah padang ilalang, mencoba menghirup oksigen sebanyak mungkin.
"Ayo pulang."
Dan seperti inilah cinta, tanpa pernah memandang apa pun. Bagas sadar betul, segalanya terjadi karena kekeliruannya mengambil keputusan. Hubungan mereka masih belum terikat kuat, tapi ia terlalu terburu-buru melakukan. Ada saatnya ketika Bagas menyesali, tapi Oosaki terus menguatkannya.
Di tengah kabut asap, dua anak manusia ini tetap menguatkan diri untuk menetap.
Oosaki tidak juga melepaskan genggamannya sejak tadi, bahkan ketika Bagas memaksanya bergegas masuk ke dalam mobil. Biarlah wanita cerewetnya mencebikkan bibir, Bagas hanya bisa terkekeh kecil sembari mencolek dagunya.
"Mampir ke Mini Market dulu ya? Mau beli minum."
"Oke."
Pertama kali saling mengenal saat masa orientasi, Bagas sudah begitu terpikat pada senyum wanita itu. Lalu, mereka mulai membangun hubungan lebih erat lagi.
Ada sekitar dua puluh lima menit Bagas mengendarai mobil, dia baru berhenti tepat ketika melihat Mini Market di seberang jalan. "Tunggu di sini bentar."
Oosaki mengangguk tenang.
Di atas langit sana mendung pekat berkumpul, Oosaki melihatnya dari jendela mobil. Akhir-akhir ini hatinya dilanda gundah, ada perasaan cemas yang terkadang bisa jadi berlebihan. Tentang hubungannya dengan Bagas, tentang kehidupan berumah tangga nanti, bahkan tentang masa depan anaknya kelak.
Naas, angannya sekejap tertiup badai.
Oosaki masih melihat langit, tetapi bunyi benturan keras yang memekikkan seketika membuatnya menoleh ke sumber suara.
Sudah takdir.
Sudah jalannya.
Hanya itu saja yang manusia ratapi.
Oosaki langsung menjerit sekeras-kerasnya begitu melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana tubuh Bagas tertabrak mobil hitam yang melaju sangat kencang.
Lalu baru-baru ini, luka itu kian menganga lebar.
Hidup memang misteri, tapi mati adalah sesuatu yang pasti.
Nayara masih mengingat enam belas tahun menyakitkan itu, enam belas tahun lalu di mana tragedi itu mengubah seluruh hidupnya. Dia ini memang benar-benar tolol, terlalu lalai hingga menyebabkan satu nyawa meregang. Keparatnya, orang itu adalah sahabat karibnya sendiri.
Sekian tahun hatinya tidak juga merasa tenang, terutama ketika harus bertemu pandang dengan William Bagaskara.
Yara menghembuskan napasnya berkali-kali sebelum berkata. "Kenapa kamu bisa ada di sini? Bukannya hari ini hari pertama kamu masuk sekolah?"