Bacanya pelan-pelan, nikmati. Jangan lupa putar mulmednya juga.
🍃
Kebahagiaan dan kedamaian hidup, itu merupakan hal yang selalu diinginkan semua orang. Namun selama ini, ia tidak juga mampu menggenggamnya. Dinard tersenyum singkat ketika melihat jutaan tetes air hujan yang menghantam bumi, membuatnya sedih, membuatnya muram. Dan, hatinya seperti jatuh lagi.
Ibunya sudah keterlaluan.
Empat tahun silam, ia pernah berjalan kaki seharian penuh menuju rumah karena ditinggal sendiri di tempat wisata. Lalu sekarang, Dinard terpaksa menggelandang di jalanan hanya karena sebuah permasalahan yang sebenarnya tidak ia lakukan dengan sengaja. Itu sebagai upaya pembelaan diri. Anak-anak itu mengatakan segala hal buruk tentang dirinya, keluarganya. Dinard tidak terima. Kemudian, terjadilah perkelahian itu hingga pihak sekolah memanggil Ibunya. Sungguh, ia tahu jika ia tergolong anak nakal. Tapi tidak sekali pun ia berniat membangkang pada Ibunya. Kehilangan Ayah sejak beberapa tahun lalu saja sudah membuat kehidupan Dinard memburuk.
"Kakakmu pintar, adikmu pintar! Kamu sendiri yang nggak punya otak!"
Apa itu pantas dikatakan?
Dinard terlahir prematur, lalu di usia satu setengah tahun ia memiliki adik. Ibunya jadi kurang memperhatikan, apalagi adiknya itu berjenis kelamin perempuan. Sekali waktu, ia sangat jengkel pada adiknya hingga berani memukul. Lalu Ayahnya tidak sadar membentak, sedangkan Ibunya refleks mendorong tubuh kecil Dinard. Sejak saat itulah, ia berjanji pada dirinya sendiri jika tidak akan melakukan hal serupa lagi. Takut dibentak Ayahnya, takut didorong Ibunya.
"Bukannya ini masih jam sekolah, kok malah nongkrong di halte?" Rasanya begitu familiar. Dinard spontan menoleh ke kiri dan mendapati kakak laki-lakinya berdiri dengan membawa tas ransel di punggung. Ini semakin mendebarkan ketika tubuh tingginya mendekat hingga berjarak kurang dari satu meter dari Dinard. "Pulang!"
Semuanya sama, selalu kasar.
"Aku nggak bisa pulang."
"Kenapa nggak bisa?!"
Jika saja ia bisa lebih terbuka.
Dinard memandang mata kakaknya sekali lagi, berprasangka mustahil alasannya akan didengar. "Aku..."
"Pulang kamu! Bikin malu saja."
Dua hari terkatung-katung, pada akhirnya ia tetap kembali ke rumah.
***
Ketika libur kuliah, Stefan memutuskan pulang ke rumah. Satu jam lalu baru tiba setelah semalaman menaiki kereta api. Ia keluar dari stasiun untuk mencari kendaraan umum, tapi yang ia dapati justru keberadaan adiknya di halte. Anak itu mengenakan seragam sekolah, jaket hitam yang menutupi kepala, duduk sembari memeluk tas. Mengetahui itu, Stefan mendadak jadi jengkel. Apa yang sebenarnya dia lakukan? Ini bahkan masih jam sekolah, seharusnya Dinard tidak di sini. Sudah cukup untuk tahun-tahun lalu yang buruk, adiknya itu bahkan sudah dua kali tidak naik kelas.
Stefan lantas memaksanya pulang, sepanjang perjalanan terus menceramahi Dinard agar dia segera sadar dan tidak terus-terusan membuat masalah. Tetapi...
"Seharusnya kamu biarin saja dia di jalanan."
Ia dan Ibunya berbeda argumen.
"Dia itu baru saja ngehajar teman sekolahnya sampai babak belur, kena skorsing satu minggu. Ya sudah, Ibu usir saja dia dari rumah sampai hukumannya selesai."
"Aku sudah bilang kalau..."
"DIAM!!" Intonasi suara Ibunya meninggi, tetapi Stefan mencoba tetap tenang dan melirik Dinard. "Masih saja mencari alasan untuk membela diri? Ibu sudah bosan dengarin omongan orang-orang mengenai kamu yang nggak juga sadar diri!"