Bacanya pelan-pelan, nikmati. Jangan lupa putar mulmednya juga.
🍃
Kamu tahu apa yang dilakukan depresi terhadapmu?
Membuatmu terlihat bahagia, padahal kamu sedang hancur sehancur-hancurnya.
Remuk.
Lalu kamu mulai berprasangka,
Jika tidak ada jalan lagi untuk kembali.
"Uang jajan kamu ada di atas televisi, jangan terlalu siang kalau berangkat ke sekolah. Ayah pergi kerja dulu."
Stefan melihat pintu kayu bercat putih menutup setelah kepergian Ayahnya, kemudian dirinya bergabung bersama hampa. Tanpa warna, harinya selalu hitam putih. Ini sudah berlangsung semenjak Stefan menghirup oksigen, tujuh belas tahun lalu sebab kelahirannya justru merenggut nyawa si Ibu. Ayahnya dengan berbesar hati sama sekali tidak menyalahkan dirinya, menganggap semua adalah takdir. Lalu enam tahun belakangan, figur Ibu yang sering diimpikan Stefan hadir di rumah sederhana ini. Ibunya Sandara begitu baik, sangat keibuan dan bisa dijadikan panutan bagi Stefan. Bayangan tentang bagaimana perlakuan buruk Ibu tiri tampaknya hanya omong-kosong, perempuan itu menyayanginya tulus.
"Ayah kamu sudah berangkat Stef?" Ibu Sandara, tutur katanya selalu lemah lembut. Dia bertanya sembari membawa setumpuk pakaian bersih lalu meletakkannya di kursi sebelah Stefan. "Dia bahkan lupa tidak membawa kotak makan siangnya."
Ada dua pilihan baginya sebagai seorang anak, memilih diam tanpa tahu apa pun atau mengetahui langsung dan mencoba memperbaiki hubungan mereka. Akhir-akhir ini Ayahnya bersikap aneh, semakin mengacuhkan Sandara yang tidak Stefan ketahui penyebabnya. Semalam bahkan mereka berdua bertengkar hebat.
"Ibu." Menuruti kata hati, sudah Stefan putuskan mencari tahu. "Sebenarnya ada masalah apa antara Ibu dengan Ayah?"
Tetapi bukan namanya Sandara jika akan menangis hanya karena hal seperti ini, dia perempuan kuat. Meski dalam hatinya hancur, dan senyum penuh tipu yang dia ukir di bibirnya. "Hanya masalah sepele orang dewasa, nggak begitu penting. Yang lebih penting itu kamu harus tetap fokus belajar dan lulus dengan nilai yang bagus."
Stefan memiliki otak yang mumpuni, dari kecil selalu menempati rangking tiga besar juara kelas. Kata Ayahnya, kemampuan dan kepintarannya itu mungkin saja menurun dari mendiang Ibunya. Stefan seharusnya patut berbangga, tetapi semua tidak semulus kelihatannya. Ada beban berat yang Stefan pikul sendiri, tidak bisa ia bagi pada siapa pun. Orang sepertinya tidak pantas ada di dunia ini, begitu tutur mereka. Stefan mengingat jelas sebagian, selebihnya perlahan ia lupakan. Kalau perlu, ia bahkan ingin memusnahkan saja semua ingatan menyakitkan itu. Ayah dan Ibunya adalah segalanya, jadi bersikap biasa saja seperti anak-anak normal lain merupakan keputusan tepat menurut Stefan.
"Kamu sudah sarapan?"
"Sudah." Sembari berkata, Stefan beranjak dari sofa untuk mengambil uang yang berada di atas televisi seperti kata Ayahnya. "Ibu kenapa nggak ikut sarapan bersama tadi?"
"Kamu lihat, Ibu sedang bersih-bersih loh."
"Tapi sarapan lebih penting, Ibu mau penyakit maagnya kambuh?"
Stefan yang seperti ini selalu membuat Sandara tersenyum, mereka memang bukan anak dan Ibu kandung tetapi perhatian yang diberikan membuatnya lupa akan status tiri itu. "Kemari sebentar, Ibu kasih uang buat kamu jajan."
"Ayah sudah ngasih kok."
"Beda, kalau ini kan dari Ibu." Stefan kesayangannya, terlihat dari bagaimana cara dia memperlakukan. Sandara sudah sangat menyayanginya mulai dari pertemuan mereka, waktu itu Stefan masih kelas enam sekolah dasar. Baru pulang sekolah dan tiba-tiba menemukan perempuan dewasa bersama Ayahnya di rumah. Pelan-pelan mereka mulai akrab, lalu satu bulan kemudian Ayahnya dan Sandara memutuskan menikah. "Ibu dengar kamu kemarin ngeluh tentang sepatumu yang rusak, kamu pakai buat beli itu."