3. Jatuh

12.6K 591 26
                                    

.

.

.

.

.

Diagnosa doter itu telah membuat hancur hatiku, remuk berkeping-keping tak berbentuk. Bahkan harapan untuk kembali menata masa depan musnah sudah. Aku masih meratapi nasib yang menimpaku. Sungguh, ini adalah mimpi buruk, bahkan tak ada seorang perempuan mana pun yang mau menderita sepertiku.

Sepulang dari dokter aku masih membisu. Hanya air mata yang mengalir dari sudut-sudut kelopak mata. Pikiranku kacau, hatiku pun terluka. Seolah dunia tak mau berpihak kepadaku. Aku bahkan tak mampu untuk sekedar menatap wajah Ardi.

Sesampainya di rumah aku bergegas menuju kamar, menumpahkan semua tangis yang tertahan sejak tadi. Tak lama, belaian lembut tangan Ardi di punggungku membuat air mata yang mengalir terhenti sesaat. Aku memalingkan wajah, tak ingin berbicara padanya sekarang. Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, aku masih belum bisa menerima kekalahan ini. Mungkin aku hanya butuh waktu untuk menerima semua ini.

"Ris ...."

Aku terdiam dengan isak tertahan.

"Kau harus kuat, Ris, ini cobaan buat kita. Aku yakin kita akan dapat melewati ini semua."

Aku masih membisu, sementara telingaku telah bersiaga sedari tadi.

"Kau tidak sendirian, Ris, ada aku, suamimu yang akan selalu di sampingmu dalam suka dan duka."

Aku memberanikan diri untuk menatap Ardi.

"Kau yakin dengan ucapanmu itu, Di?" tanyaku padanya.

"Ya ... aku akan selalu di sisimu. Mencintaimu sampai maut yang memisahkan kita."

Aku menatap matanya, masih ada keteduhan di sana. Dia bersungguh-sungguh dengan kata-katanya.

"Tapi aku mandul, Di, aku tak akan bisa memiliki anak. Aku tak akan bisa memberimu keturunan. Dan kau ... kau masih bisa memiliki anak." Aku kembali terisak, meratapi kenyataan yang mungkin akan membuatku kehilangan suamiku.

"Kita bisa mengadopsi seorang bayi kalau kau mau ...."

Aku terkejut dengan ucapan Ardi.

"Mengadopsi bayi?"

"Ya ... kau tau, Ris, di luar sana ada banyak sekali anak-anak yang tak diharapkan kehadirannya oleh orang tua mereka. Kita bisa meminta salah satu dari mereka untuk menjadi anak kita."

Aku tersenyum getir, Ardi benar. Ini salah satu solusi untuk masalah kami. Mungkin kami bisa mulai mencari tahu tentang beberapa anak dari panti-panti asuhan di sekitar kami. Kenapa tak terpikirkan olehku?

*****

Pagi itu aku tetap pergi ke kantor seperti biasanya, dengan membawa setitik harapan. Aku mencoba bersikap sewajarnya, menyembunyikan kesedihan dari wajahku. Aku tak ingin mereka tahu tentang masalahku. Aku tak sanggup mendengar ocehan mereka, cukup aku dan Ardi saja yang tahu.

Semua mulai berjalan seperti biasanya, walau terkadang rasa kecewa itu masih sering menghampiri. Membuat air mata luruh seketika, tersedu sendiri. Bahkan pernah ada sebersit pikiran untuk mengakhiri hidup ini, ketika aku sudah berada di batas keterpurukan. Namun kata-kata Ardi menghentikan niat itu, beruntung aku memiliki seorang suami sepertinya.

Tiga bulan berlalu, entah aku harus bersyukur atau tidak, usia pernikahan kami telah memasuki tahun ke empat. Sementara cinta Ardi tidak pernah berkurang untukku. Tapi aku merasa hampa, ada sesuatu yang kosong di hati ini. Entahlah, mungkin aku merasa pernikahan kami belumlah lengkap tanpa kehadiran seorang anak. Aku ingin ada tawa anak kecil yang meramaikan rumah kami.

Surga Kedua [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang