12. Hujan yang Tersisa

12.2K 890 175
                                    

"Bulanku berguguran sebelum purnama
Meredup sinar di sepanjang jalan kenangan
Meninggalkan hampa; atas kerinduan yang membuncah
Hujan mengurung bayang-bayang bulanku dalam genangan luka
Mengabur pandang, tentang mimpi yang terajut di atas langit

Bulanku telah pergi"

(Bulanku Berguguran, in Sayonara Rindu by Vita Savidapius)

Aku menghitung lagi jumlah pengeluaran bulan ini, setelah memastikan tidak ada kesalahan, lalu segera mencetaknya untuk laporan bulanan. Turun dari kursi, aku menuju toilet sebentar sembari menunggu hasil print out selesai. Setelah buang air kecil, aku mencuci wajah dan leher, menepuk-nepuknya dengan air agar terlihat lebih segar. Setelah cukup, aku mengeringkannya dengan tisu yang selalu tersedia di saku celana.

Kedua mataku menatap sepasang mata yang menghitam di bagian bawah, dengan sorot yang masih penuh luka. Tisu bekas masih kugenggam di tangan kanan, sedang tangan kiri mengusap pipi kiriku yang sedikit lebih kurus. Aku menarik napas dalam, berusaha melonggarkan sesak yang kembali memenuhi dada.

Satu bulan pasca Ardi melepasku, sidang pertama kami di mulai. Ardi tidak datang, hanya mengutus pengacaranya saja. Dia hanya datang dua kali, saat proses mediasi dan penjatuhan talak. Selebihnya hanya aku sendirian.

Meski kami duduk berbeda kursi, berbeda prinsip, namun tangannya tak pernah lepas menggenggamku selama sidang berlangsung. Sedikit membuat hakim heran, namun kami sama-sama mengangguk mantab untuk berpisah ketika lagi-lagi hakim menanyakan keputusan kami.

Aku sedikit kecewa waktu itu, mengingat Ardi yang begitu gampangnya melepasku. Bagaimana tidak? Setiap waktu yang pernah kami lalui bersama, penuh dengan cintanya. Lalu ketika aku ingin mengalah, dia tak sungguh-sungguh mempertahankanku. Aku mengelus perutku yang selalu rata, andai saja takdir berkata lain mungkin aku sudah bahagia sekarang.

Wajahku cukup segar, setelah hampir seharian bergelung dengan angka dan tabel yang membuatnya kuyu. Aku memeriksa hasil print out- ku, sudah selesai, tinggal di masukkan ke map lalu menyimpannya. Sembari beberes, aku mengerjakan sedikit laporan yang tertunda, menunggu waktunya pulang kantor. Pukul enam kurang limabelas menit seisi ruangan mulai ramai. Celoteh para wanita yang sibuk berencana menghabiskan malam minggu mereka, juga para lelaki yang tiada henti menggaungkan nobar pertandingan sepak bola pada Sea Games tahun ini.

Sesekali aku turut berpartisipasi dengan ocehan mereka, ikut serta menyusun rencana malam minggu atau akhir pekan besok. Sesekali bersenang-senang tak apa bukan? Daripada bengong sendirian meratapi nasib di dalam kamar.

"Jadi ke Bandung?" Aku melirik Laras yang tengah asik menekuni salah satu situs online di ponselnya. Laras menatapku, lalu mengangguk.

"Jadi, dong. Anak-anak sudah pada heboh pengen ke Trans Studio." Laras meletakkan ponsel ke dalam tas. Kedua maniknya mulai sibuk memindai kedua mataku, atau wajahku.

"Kamu mau ikut?"

Mataku kontan saja membulat, "ah, enggak, ngapain juga aku ke sana." Aku mengangkat kedua bahu, sesekali menggoyangkan kepala.

"Selain jalan-jalan, kita bisa belanja, Ris."

Aku membalas Laras dengan senyuman. Ide untuk bersenang-senang memang menggiurkan. Tapi juga tidak harus ke luar kota, apalagi sampai sejauh itu. Aku memilih melanjutkan memberesi map-map yang akan kukerjakan besok. Menyibukkan diri dari aroma liburan mereka.

Surga Kedua [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang