I'm still wondering kenapa nyokap gue ngebet banget pengin dipanggil 'Bunda'. Kenapa nggak 'Mamah' aja? Atau 'Ibu' gitu? That sounds more relateable with her personality ketimbang 'Bunda' yang kesannya memang alim-alim dan baik hati gitu. Lah, Bunda kan nggak! Absolutely not! Eh, I mean, bukan berarti gue bilang kalau Bunda itu nggak baik hati. Tapi kadang, Bunda bahkan bisa lebih kejam dari ibu tirinya Cinderella dan Bawang Putih digabungin jadi satu.
See? Creepy, kan? Gue bahkan bingung kenapa Dad bisa jatuh hati sama Bunda. By the way, bokap gue itu bukan orang Indonesia. Asal dia dari Australia. Sementara, Bunda itu peranakan Turki dan Sumedang. Kata Bunda sih Bunda sama Dad itu ketemu waktu mereka ada di Lombok. Gathering sumthing gitu, gue agak lupa. Sebenarnya gue juga agak malas sih ngedengarin berulang-ulang cerita Bunda tentang gimana dia ketemu sama Dad. Bukannya makin nyantol ke kepala, gue malah semakin lupa.
Lagian, besok-besok juga Bunda bakalan cerita lagi kok. Percaya, deh.
"ADEEEKKKK!!!"
Gue memutar bola mata. Sekali lagi gue mematut penampilan gue di cermin. Entah kenapa rambut gue selalu aja berdiri, padahal udah gue sisirin. Huft! Gue paling malas kalau Bunda udah nyuruh-nyuruh gue pake pomade. Rasanya benar-benar nggak enak saat gel silly itu nempel di rambut gue. Lengket. Ugh, gross!
Tangan gue menggapai tas yang tergeletak di kasur dan bergegas turun melompati anak tangga sekaligus dua dan menemukan Bunda lagi makan nasi goreng di anak tangga terakhir. Bukan, bukan. Bunda makan nasi gorengnya di meja makan, posisi guenya yang di anak tangga terakhir.
"Lama amat!" kata Bunda bersungut-sungut, "kalau mandi jangan lama-lama, hemat air. Kita itu harus go green, Dek. bumi itu udah nggak kayak dulu lagi, kita harus jaga bumi kita."
"Bilang aja ntar bayar listriknya mahal," kata gue mencibir. Bunda nggak menghiraukan gue dan lanjut makan. Gue mengangkat bahu, nggak benar-benar peduli. Gue menarik piring nasi goreng gue. Masih hangat. Tapi tunggu dulu deh, ini-"Bun, seriusan nggak dikasih telor lagi?"
"Telor mahal. Kalau kamu mau telor, ntar Bunda beliin," Bunda melirik gue sekilas, "tapi nanti nggak bakalan Bunda kasih kecap."
Gue mendengus. Pasti, deh. Ini alasan gue bilang kalau Bunda itu lebih kejam dari ibu tiri. Bunda itu pelit. Terlalu perhitungan. Mata duitan. Pernah gue diajak Bunda belanja ke Alfamart. Saat kasirnya bilang, "Ibu, seratusnya mau didonasikan saja?" eh, malah diminta balik. Bunda bilangnya gini, "nggak usah, Mba. Ntar saya donasikan aja sendiri."
Nggak lagi-lagi deh gue nemenin Bunda ke Alfamart.
"Kata Jeung Lilis ntar siang bakalan ada orang pindahan. Rumahnya Pak Aryana itu, yang di depan rumah kita persis, yang pagernya ijo, yang taman belakangnya ada bunga mawar merahnya, bakalan ada yang nempatin," Bunda menatap gue lekat-lekat. Tangannya yang lagi memegang sendok menunjuk gue, "nanti kamu anterin apa gitu, Dek, yang murah aja, jangan mahal-mahal. Biar kita keliatan kayak tetangga baik aja gitu."
Gue mengangkat alis. "Kenapa nggak Bunda aja?"
Bunda mengibaskan tangannya, gayanya seolah bilang kalau nanti siang dia itu bakal sibuk banget. Kayak yang nanti dia bakalan berubah jadi Diana Prince dan menumpas kejahatan atau malah pergi ke bulan pakai pesawat ulang-alik buat nyari keberadaan alien. "Bunda ntar siang mau ada arisan. Di rumahnya Jeung Tanya. Itu lho yang rumahnya ada di samping kirinya rumah Pak Aryana, yang rumahnya di depan rumah kita persis, yang pagernya ijo, yang taman belakangnya ada bunga mawar kuning—"
"Merah," kata gue menyela.
"Nah, iya itu!" serunya lantang. "Tuh kan, Dek, Bunda sibuk banget, kan? Jadi kamu aja, ya? Okeh? Okeh? Okeh, deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tunes!
Teen FictionGue Daniel. Siswa SMA yang super-duper biasa aja. Nggak neko-neko. Nggak nakal. Nggak suka bolos. Nggak suka boros dan juga nggak suka nraktirin teman. Yang nggak biasa adalah Bunda. Nyokap gue. Yang bawaannya pengin banget gue keluar dari band. Sam...