Sol

43 5 14
                                    

Udah dua hari berlalu sejak gue hampir menghajar Junior. Kami belum bertemu lagi setelah itu. begitu juga dengan Gema. Karena mereka memang selalu bersama. Billie pun udah jarang gue lihat kuncir kudanya. Gue pikir dia udah pindah sekolah kalau aja dia nggak menemui gue saat jam istirahat dan meminta gue buat ketemu dia nanti sepulang sekolah.

“Kenapa nggak sekarang aja?”

“Gue mau cerita ke lo, tentang sesuatu. And it’ll be a long story. Jadi butuh waktu yang banyak juga. And no excuse,” kata Billie sambil menaruh jari telunjuknya di depan bibir gue. “Ini penting, dan lo perlu ini tau sebelum gue pergi.”

“Penting banget?” tanya gue menengadah. Soalnya dia berdiri di samping meja gue, dengan berkacak pinggang, dan dengan raut muka yang serius.

“Penting banget,” katanya mutlak sambil mengangguk mantap.

Gue menghela napas, tapi tetap mengangguk. Tangan gue kembali memasukkan sesendok nasi goreng buatan Bunda pagi tadi yang tanpa telor itu. Billie masih di sini, dengan tangan yang masih berkacak pinggang. Gue melirikmya sambil tetap mengunyah. Dia menggelembungkan sebelah pipinya dan setelah itu menghela napas keras-keras. Tangannya memutar kursi di depan gue dan mendudukinya.

Sebenarnya, setelah apa yang udah terjadi selama beberapa hari ke belakang, apa yang udah gue lalui, yang salah satunya adalah gue harus kehilangan satu teman kayak Billie, sekarang gue baru ngerasa yang namanya nggak rela buat ngelepas dan berpisah. Billie baik. Dia peduli. Bukan cuma sama gue, tapi sama Jun dan Gema juga. Sekarang gue jadi ngerasa nggak mau kehilangan dia. Gue mau dia tetap di sini, tetap jadi Billie yang menyebalkan tapi diam-diam peduli. Gue ngerasa … gue nggak rela kalau dia bakal ninggalin gue, juga Gema dan Jun—walaupun gue masih emosi kalau ingat apa yang udah dia lakukan. But still, satu tahun lebih yang udah kami lalui itu diatasnamakan sebuah persahabatan.

Bekal gue udah habis. Gue menutup wadah bekal Tupperware gue dan memasukkannya ke dalam tas—nggak mau gue taruh di kolong meja, takut tiba-tiba wadah bekal itu lenyap dan akta lahir gue akhirnya disobek-sobek Bunda. Euh, jangan sampai terjadi.

“Lo kok nggak pergi?’ tanya gue setelah meneguk air putih. Billie memutar bola matanya. Namun, setelah itu tatapannya berubah sendu. Matanya memandangi gue dengan berkaca-kaca. Badannya ia condongkan ke depan. Gue menaikkan alis, tapi ikut mencondongkan badan gue sedikit. Kadang cewek satu ini memang nggak bisa ditebak isi kepalanya.

“Jangan deket-deket!” Tangannya menyentil kening gue seketika. Gue mengaduh, tapi nggak Billie acuhkan. “Gue cuma mau bilang … jangan kangen ya kalau gue udah nggak ada.” Lalu setelah itu dia berdiri dan meninggalkan kelas gue cepat-cepat. Cih! Gue pikir apa.

Tapi gue pasti bakal kangen, sih. Kangen sama ajakannya ke kantin pagi-pagi, ceritanya dia tentang betapa cueknya Tante Ruth, ganjennya Mbok Madona—nama aslinya Maodah—yang sering banget godain saptam kompleks, dan juga saat-saat kami nge-band. Billielah yang mencairkan suasana. Dia yang heboh dan atraktif. Yang selalu ribut lagu apa yang bakalan kami bawakan, tentang makanan apa yang harus kami makan setelah nge-band, dan juga hal lainnya. Gue nggak bisa ngebayangin gimana jadinya keadaan band ke depannya tanpa adanya Billie.

Tiba-tiba gue tercenung. Iya, ya. Band udah bubar. Apa Billie tahu itu, ya? apa itu yang bakalan dia bahas nanti saat pulang sekolah?

***

“Yakin nggak mau Ultra Milk?”

“Yakin. Lagi nggak pengin.”

“Yang rasa Taro?” tanya Emil menengadah. Gue menaikkan alis. Ini gue yang ketinggian atau memang Emil itu pendek? “Yang Taro enak, lho. Favorit aku.”

Tunes!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang