Oke. Jadi gue pikir kayaknya Bunda benar-benar marah ke gue. I mean, saat gue bangun, menuruni anak tangga, langsung menuju meja makan tanpa mandi lebih dulu (entah kenapa gue melakukan hal itu, gue juga nggak tahu ada apa dengan gue pagi ini) dan langsung menduduki kursi, melihat piring yang terhidang dan cuma ada nasi goreng. Literally nasi goreng. Nasi yang digoreng. Tanpa telur (itu udah biasa) dan tanpa kecap—I mean, oh gosh! Seriusn?!
“Bun? Ini seriusan nggak dikasih kecap?!” gue mendongak, menatap punggung Bunda yang masih berkutat dengan kompor dan penggorengan. Setelah itu dia berbalik. Wajahnya mengerut dalam, seolah bertanya-tanya apa maksud gue dengan bilang begitu (padahal udah jelas apa yang gue maksud—di nasi gorengnya nggak ada kecap!), dan di tangannya ada teflon dengan telor mata sapi di atasnya.
Bunda menaruh telor itu di atas piring gue. Setelahnya dia menyentil kening gue, membuat gue menaduh kecil dan refleks mengusapnya secara asal karena—sumpah!—itu sakit banget! “Bangun!” serunya dan berbalik ke penggorengan lagi.
Gue mengucek-ngucek mata gue, kembali memfokuskan mata ke arah piring dan kayak ada—atau sebenarnya nggak ada—sesuatu yang menyadarkan gue, kalau itu cuma sekadar nasi putih biasa. Bukan nasi goreng tanpa kecap atau sejenisnya. Gue bergeming, tercenung sebentar dan memandangi piring gue heran. Kok gue bisa mengira kalau itu adalah nasi goreng tanpa kecap?
“Bunda nggak bikin nasi goreng?”
“Kamu mau nasi goreng?” tanyanya, menarik kursi dan duduk di depan gue. Kepala gue menggeleng cepat. Lalu gue melahap telor mata sapi itu dengan semangat—agar Bunda tahu betapa gue bosan dengan nasi gorengnya.
“Emangnya kemaren kamu ngapain, Dek?”
“Ngobrol sama temen,” jawab gue setelah menelan nasi putih—bukan nasi goreng tanpa kecap—dan telor mata sapi itu. “Dia mau pindah.”
“Siapa?” Bunda menegakkan punggungnya. Tangannya menyilang di atas meja. Gayanya sok-sokan mirip psikolog yang siap mendengarkan. Seolah cerita gue ini menarik banget buat disimak dan diulas. Gue memutar bola mata, kembali melahap dan mengunyah sarapan gue.
“Billie. Vokalis band-nya Niel.”
“Masih main band?” Bunda mengerutkan alisnya. “Kan udah Bunda bilangin, ih! Keluar aja dari band, kamu tuh bentar la—”
“Udah bubar, kok, Bun.”
“Ehhh???” Bunda membelalakkan matnya. Raut wajahnya seakan nggak percaya kalau band gue telah bubar. “Ini seriusan???”
“Hm.”
“Kok bubar, sih? Kenapa bubar? Gara-gara vokalisnya keluar?” gue mendengus. Menelan suapan sendok terakhir sarapan gue, meraih gelas air putih dan meneguknya hingga tandas. “Kan kamu bisa cari vokalis yang baru, Dek! banyak lagi orang yang suaranya bagus, tuh. Dulu waktu SMA juga Bunda pernah ditawarin buat ikut jadi petugas upacara pas 17’an.”
Hubungannya? “Jadi padus? Bunda terima?”
“Jadi pembawa baki. Enggak, atuh. Bunda malah pura-pura pingsan biar dapet teh gratis.”
Gue memutar bola mata lagi. Typical Bunda. “Nggak, kok. Bukan gara-gara Billie keluar dari band. Dia emang keluar dari band, tapi kita udah ada rencana buat nyari vokalis lain. But that didn’t end good enough. I mean, pencarian si vokalis ini. Dan akhirnya band kita bubar.”
Bunda menatap gue khawatir—yang jelas banget coba dia tutupi. Tangannya terulur, menggengam dan mengelus punggung tangan gue dengan ibu jarinya. “Kamu nggak apa-apa, kan, Dek?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tunes!
Teen FictionGue Daniel. Siswa SMA yang super-duper biasa aja. Nggak neko-neko. Nggak nakal. Nggak suka bolos. Nggak suka boros dan juga nggak suka nraktirin teman. Yang nggak biasa adalah Bunda. Nyokap gue. Yang bawaannya pengin banget gue keluar dari band. Sam...