Pertemuan Setelah Sekian Lama

141 6 2
                                    

Kriiingg....
Dering telpon sontak saja membangunkanku dari mimpi panjangku. Aku mengeluh. Entah siapa yang berani-beraninya mengganggu tidur seorang macan betina. Dengan gusar aku bangkit dari tempat tidur dan meraih ganggang telpon di samping tempat tidurku.
"Bungaaa, lo gimana sih, janjian jam berapa, dateng jam berapa! Ini udah jam berapa Bung?" celotehan Tulip memasuki gendang telingaku yang masih suci. Aku terlonjak kaget saat melirik jam dinding berbentuk kepala micky mouse yang tertempel tepat diatas pintu toilet kamarku. Jam itu menunjukkan pukul 7.13 pagi.
"Ya ampun, sorry banget Lip, Gue tadi malam begadang ngerjain storyline buat hari ini" ujarku berbohong. Sebenarnya sepanjang malam yang aku lakukan hanyalah menangis, sekaligus bernostalgia dengan kenangan dari seseorang yang sudah menghancurkan hatiku. Iya, hatiku remuk.
"Ya udah, Lo mending kesini deh buruan sebelum si bunga bangke marahin lo" nada bicara Tulip pun akhirnya merendah. Aku pun segera mengiyakan dan buru-buru menutup telpon dari Tulip dan kemudian berlari secepat kilat ke kamar mandi.
***
"Bungaaaa, kamu make apaaan sih?" ujar mama ku dengan gusar saat aku baru saja keluar dari kamar. Mama memandangiku dari kepala hingga kaki dengan tatapan tertekan. Hari itu aku mengenakan kaos berwarna hijau yang sudah kusam dengan tulisan di dadanya 'Yogyakarta' dengan jaket jeans berwarna gelap. Celana jeans yang ku kenakan pun sudah agak kusam dan agak kedodoran. Rambut sebahuku ku kuncir asal. Wajahku sama kusam dan kucelnya dengan baju yang ku kenakan. Tak lupa aku memakai gelang tangan Mike Wzowski, karakter monster lucu bermata satu yang merupakan salah satu tokoh dari film favoritku.
"Udah deh ma, mending mama dari sekarang cari orang tua lain yang mau jadi orang tuanya Bunga ma. Dari pada mama frustasi tiap hari" ujar Dio, adik cowokku yang baru kelas 2 SMP. Ia kemudian cekikikan sambil sesekali mengunyah roti panggang yang disiapkan mama untuk kami. Aku menggeram kesal mendengar ucapannya. Bocah berambut keriting itu menatapku sambil menjulurkan lidahnya. Aku mengepalkan tanganku dan mendekatinya. Aku ingin sekali mencubitnya sekuat tenaga. Namun, sebelum aku sempat melakukan itu, mama yang duluan menarik tanganku kembali ke dalam kamarku dan memintaku mengganti pakaianku. Ia kemudian mengunciku dari luar. Aku berteriak histeris.
"Maaa, aku udah telat ma, ya ampun ma!" teriakku sambil berusaha membuka pintu kamarku dengan paksa.
"Mama nggak akan bukain sebelum kamu ganti itu baju yang udah seharusnya jadi kain lap. Duh Bungaa, kamu kok bisa-bisanya sih pake baju itu terus, kamu nggak ngerti ya, penampilan itu penting. Biar kamu bisa diterima orang dengan baik kamu harus.... " bla bla bla. Ocehan mama tidak sepenuhnya ku dengar karena aku sudah melarikan diri dengan meloncat dari jendela kamarku. Dari luar rumah aku berteriak " Pergi dulu maa".
Dan teriakan mama terdengar hingga di luar rumah
"BUNGAAAA".
***
"Sorry, sorry, gue telat banget ya" ujarku sambil berusaha mengatur nafasku yang tersengal-sengal. Aku memakirkan motorku cukup jauh dari tempat pertemuan, karena satu-satunya tempat parkir yang aku temui adalah disana. Akhirnya aku pun berlari dari tempat parkir itu menuju tempat pertemuan.
Tulip melihatku dengan wajah cemberut. Bibirnya yang dipoles lipstik warna peach terlihat agak maju. Tulip terlihat cantik seperti biasanya. Rambut panjang dan agak ikalnya itu digerai lengkap dengan poni yang dipotong lurus menutupi dahi. Mini dress warna kuning cerah terlihat kontras dengan kulit putihnya yang terlihat terawat. Aku kadang minder dengan Tulip yang selalu cantik. Tapi, aku juga tidak ingin menjadi sepertinya. Aku akan selalu menjadi diriku, dan aku bangga dengan itu.
Gadis itu kemudian mengomeliku dengan gaya khasnya.
"Lo dari mana aja sih Bung?" katanya dengan pandangan penuh tanya sekaligus gusar. Dia hobi sekali memanggilku Bung, alasannya karena biasanya orang memanggil dengan suku kata pertama nama orang itu. Namun dia mencak-mencak kalau aku memanggilnya dengan panggilan Tul.
"Gue udah berusaha datang cepet kok Lip, tapi tadi dijalan..."
Tulip memutus dengan cepat.
"Tapi dijalan macet, terus ban gue kempes, nyokap gue ngunciin gue gara-gara gue jelek" ujar Tulip sambil menirukan gaya bicaraku. Aku cuma bisa terdiam terpaku. Anak ini hebat sekali dalam menirukan seseorang.
"Oke, gue tau, lo nggak usah ngejelasin gue udah hapal diluar kepala semua alasan yang setiap hari lo bilang ke gue" ujar Tulip dengan gaya judesnya itu.
Aku pun tertawa melihatnya yang seperti 'itu'.
"Dan sekarang mending lo ngomong sama klien kita yang udah dateng sejak 30 menit yang lalu".
"Mana? Sini biar gue bujukin biar dia gak marah. Lo kan tau gue ahlinya melas" ujarku sambil mengedarkan pandanganku di sekitar taman.
"Tuh dia," Tulip menunjuk ke seorang pria tinggi yang berada sekitar 5 meter dengan kami dan dia sedang berbicara dengan Mr. Rafless, ketua tim kami. Mereka terlihat sedang berbicara serius. Namun aku tidak bisa melihat wajah klien kami itu karena ia berdiri memunggungi kami. Aku pun mendekati mereka perlahan-lahan. Mr. Rafless atau si bunga bangke karena kesalnya kami padanya, karena sifatnya yang suka marah-marah dan terkadang tidak mau disalahkan itu, menatapku dengan pandangan kesal. Aku hanya bisa memberikan cengiran tanda aku benar-benar menyesal karena telah terlambat. Mr. Rafless kemudian memberitahukan bahwa aku, si penulis skenarionya sudah datang.
Seketika pria itu berbalik, dan terlihatlah wajah pria itu. Aku terperanjat kaget. Dia!!
****
"Rose, aku akan menjadi pahlawanmu, aku akan melindungimu, dengan kekuatan pedang cahaya". Seorang anak laki-laki berambut ikal berlari-berlari memutari seorang anak perempuan yang memakai baju panji millenium dengan membawa sebilah pedang kayu. Ia kemudian menancapkan pedangnya di tanah dan berlutut.
"Aku pahlawan super akan melindungimu dengan sekuat tenagaku" teriak anak itu lantang. Kemudian anak perempuan itu menggeleng keras.
"Tidak, sesama pahlawan super bukan untuk saling melindungi, tapi saling membantu dalam menyelamatkan bumi ini, bersama-sama kita akan melindungi warga bumi ini" ujar gadis cilik itu tak kalah lantang.
"Baik, kita akan saling membantu demi kesejahteraan umat di dunia ini! Hidup Rose!" teriak bocah itu lantang dengan tangan terkepal ke atas mirip seperti pendemo. Sontak saja gadis cilik itu tertawa-tawa melihat permainan mereka yang semakin menyenangkan.
Bocah laki-laki itu kemudian menarik tangan gadis cilik itu.
"Aku haus, ayo kita cari kelapa muda" katanya kemudian.
Gadis itu mengangguk dan mengikutinya.
Ketika melihat pohon kelapa, bocah laki-laki itu kemudian memanjat pohon itu, namun sebelum sempat mengambil kelapa mudanya ia tiba-tiba terpleset dan gedebuk! Bocah itu jatuh dari atas pohon yang dinaikinya. Gadis cilik itu pun langsung terkesiap melihatnya terutama saat kepala bocah itu mulai mengeluarkan darah. Gadis cilik itu kemudian berlari dan berteriak mencari bantuan. Sambil menangis-nangis ia berteriak memanggili udara kosong. Tempat itu lumayan sepi karena merupakan ladang yang hanya didatangi orang ketika pagi. Namun jika sore, umumnya tidak ada seorang pun yang ada diladang. Beruntungnya ketika gadis itu berteriak, seorang bapak tua lewat dan buru-buru menyelamatkannya. Sejak saat itu, gadis cilik dan bocah laki-laki itu tidak pernah bertemu lagi.***
"Lo, Ucus bukan, Daucus? Gilaak, Lo masih ingat gue nggak? Masih kriting aja rambut lo, ya ampun gue pangling banget ngeliat lo. Tapi muka lo tu unik banget jadi gue langsung ngenalin lo, gilak parah! Udah berapa tahun sih cus?, 4, 5,..." cerocosku tanpa bisa ku hentikan. Aku merangkul bahunya yang lumayan tinggi sambil menepuk-nepuknya. Namun ekspresiku berbanding terbalik dengan ekspresi cowok yang ku sangka Daucus, teman masa kecilku itu.
"Excuse me, what you talking about?" ujar cowok itu sambil menyipitkan matanya yang tajam itu. Bola matanya yang keabu-abuan itu menatapku dengan tajam. Perlahan aku turunkan tanganku yang tadinya menepuk-nepuk bahunya. Dan aku pun terdiam. Apa aku salah orang?
"Aku tidak mengenal kamu, tapi ada baiknya kita berkenalan sekarang. Aku tidak tahu dari mana kamu tau namaku, tapi iya, namaku Daucus, but I really didnt like if you call me 'cus' and treat me like your best friend" ujar Daucus dengan wajah datar.
Aku terhenyak. Jelas-jelas dia Ucus, tapi dia tidak mengenalku? Aku pun mencoba menerimanya dan tersenyum dengan profesional.
"Baik pak Daucus, nama saya Bunga, Bunga Desposita" ujarku.
Daucus nampak agak terkejut dan aku dapat melihat senyuman sekilas diwajahnya. Aku tahu dia sedang menertawakan namaku. Aku hanya bisa memberikan senyum agak terpaksa padanya.

Mawar yang Telah GugurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang