Menyerah Jatuh Cinta

29 3 0
                                    

Aku menghirup dalam aroma kopi robusta yang ku buat sendiri sambil memandang jendela kaca yang basah terkena tetes hujan. Aku duduk di sofa berhimpitan dengan Dio yang sedang tidur siang. Dia menggeliat kesal karena merasa terdesak oleh tubuhku. Sofa ini adalah sofa favorit kami untuk beraktivitas disore hari. Dio biasanya berbaring sambil bermain game. Sedangkan aku kadang hanya selonjoran sekedar untuk meluruskan punggung yang pegal setelah seharian beraktivitas. Sore ini begitu tenang. Hujan yang turun membuat Dio mengantuk, Namun membuatku bernostalgia.

Besok aku sudah harus pergi ke Banjarmasin. Namun aku sama sekali belum menyiapkan apapun. Aku sangat tidak bersemangat. Hujan makin membuatku tidak bersemangat. Argh, aku bimbang.

Apa yang aku bimbangkan? Sebenarnya kalau boleh jujur, aku takut jatuh cinta. Aku takut jatuh cinta padanya. Aku menyerah untuk jatuh cinta lagi. Seseorang telah meremukkan hatiku. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Bukankah hatiku kini sudah kuat? Aku memukul dadaku pelan dan tersenyum. Ya. Jangan pernah jatuh cinta padanya. Jangan lupa kalau dia, cowok itu sudah memiliki tunangan. Kamu tak ingin bukan, ada seseorang diluar sana yang merasakan sakitnya dikhianati oleh orang yang mereka cintai. Dan parahnya lagi aku akan menjadi wanita perusak hubungan orang. Huft, aku tidak serendah itu. Sebersit senyuman terbit diwajahku, aku merasa lebih kuat sekarang.

Kaki Dio menendang-nendang kakiku. Itu tandanya ia menyuruhku menyingkir dari sana. Anak ini, tidak bangun, tidak tidur, sama saja. Sama-sama menyusahkanku. Tiba-tiba muncul ide untuk membalas perlakuannya kemarin. Aku berjingkat menuju dapur dan mendapatkan beberapa utas tali. Kuikatkan tali-tali itu ditangan dan kaki Dio. Lalu kuteriakkan 'kebakaraaaan' ditelinganya. Alhasil Dio terbangun dengan panik dan ketika mencoba melangkah ia tersandung oleh ikatannya sendiri. Akibatnya, dia terjatuh dan mencium karpet merah maroon yang melingkupi ruang tamu. Aku tertawa puas dihadapannya. Dio lalu melepaskan ikatan di kaki dan tangannya dengan mudah dan bersiap mengejarku untuk membalas dendam, Namun sebelum itu aku telah menyelamatkan diriku dengan bersembunyi di balik papaku yang baru pulang kerja. Papaku dengan wajah lelahnya mencoba tersenyum. Pekerjaannya sebagai pemilik sebuah restoran padang membuatnya pulang tak tentu waktu. Ketika resto tidak begitu ramai, ia menyempatkan diri untuk pulang sekedar untuk melihat anak-anaknya bermain atau nongkrong. Tapi kadang aku dan adikku malah yang jarang dirumah. Kadang dia pulang ke rumah Delima, untuk melihat Carel ponakanku yang usianya baru 5 bulan.

Dio mengadu pada papa,"Pa, masak kaki aku diikat sama dia waktu tidur sih," kata Dio sambil menunjuk wajahku.

"Kemaren Dio ngerjain aku nyampe aku malu setengah mati di kampus, parah banget kan paa," ujarku sambil menggelayut manja di lengan papa. Papa menjitak kepalaku pelan. Aku segera mengomel panjang lebar.

"Papaaaaa, kok aku yang digetok sih," ujarku dengan wajah cemberut. Dio tertawa-tawa dan menjulurkan lidahnya mengejekku.

"Karena kamu barusan ngerjain Dio," kata papa simpel.
"Tapi kan kemaren.."
"Udah, yang kemaren biarin aja berlalu," kata papa memutuskan ucapanku yang belum selesai.
"Yaah papaa," ujarku pura-pura kecewa.
"Pa, besok aku ke Banjarmasin," kataku setelah papa duduk di sofa. Aku beranjak menuju dapur dan kembali membawa secangkir kopi panas.
"Ngapain?" ujar papaku singkat. Ia membuka koran yang selalu tersedia di atas meja.
"Mau syuting pa, cuman 3 hari," kata-kataku membuat papa mendelik. Perhatiannya pada koran teralihkan padaku.
"Kamu jadi artis dek?" katanya dengan ekspresi kaget. Dek, adalah panggilannya untukku, tentu saja waktu diberi panggilan itu, keluarga ini tidak punya keinginan menambah makhluk lain.

"Eh, enggak pa, cuman jadi penulis naskah," jawabku.
"Yah, kirain," ujar papa dan melanjutkan membaca koran.
"Papa bolehin kan?" tanyaku hati-hati.
"Boleh, tapi setelah pulang dari sana, kamu harus nikah ya," papa berkata dengan santai. Namun kata-kata itu seperti petir di siang bolong bagiku.
"Nikah pa, paraah banget, nikah sama siapa pa, paaah, aku kan masih kuliah, masih muda juga, papa aduhh," ujarku dengan panik.
"Papa cuma becanda kok," ujarnya datar dan aku ingin sekali menguliti papaku.
"Papaaaa!!"
***
Aku melambai-lambaikan tangan pada keluarga yang ikut mengantarku. Namun, mereka tidak membalas bahkan waktu aku mau landing mereka buru-buru bubar seperti tidak mempedulikan kepergianku. Aku menggerutu kesal, mereka tidak khawatirkah dengan anak gadis satu-satunya yang tidak pernah keluar rumah, apalagi keluar kota, harus pergi jauh dari mereka. Memang sih aku tidak juga mengharapkan mereka akan menangis bombay, mama tersedu-sedu dan papa memeluknya serta mengelus punggungnya seakan memberitahu bahwa aku akan baik-baik saja. Apalagi mengharapkan Dio akan menangis sambil berguling-guling dilantai. Khayalanku terlalu yuck.

Daucus berjalan dengan angkuh disebelahku. Kenapa angkuh? Karena dagunya terangkat dan sedikit pun tidak menoleh padaku. Hari ini dia mengenakan celana jeans panjang dengan kaos lengan pendek berwarna putih polos yang mencetak dengan jelas dadanya yang bidang. Ingin sekali aku menempelkan wajahku di dadanya yang bidang itu. Hanya ingin tahu rasanya tiduran di dada cowok. Aih, pikiran kotor macam apa ini? Teriak hati kecilku marah. Dalam hati aku tertawa keras.

Sementara aku, aku mengenakan kaos pendek berwarna hitam dengan jeans berwarna senada yang dibelikan mama waktu tau akan berangkat ke Banjarmasin. Mama paling heboh menyiapkan baju-bajuku. Saat melihat lemariku yang isinya baju-baju lama yang tidak layak pakai lagi, begitu kata mama, dia langsung pergi ke toko baju dan memborong baju-baju yang akan ku pakai selama 3 hari. Selain itu, dia melengkapiku dengan sekotak kosmetik, dan yang paling ia tekankan adalah sunblock. Katanya aku harus mengoleskan sunblock setiap hari, karena menurutnya Banjarmasin yang dekat dengan garis khatulistiwa itu adalah daerah panas yang dapat merusak kulitku. Aku hanya mengangguk-angguk agar omelan mama tidak melebar.

Saat tiba di pesawat, aku melihat nomor tempat dudukku dan ternyata bersebelahan dengan Daucus. Aku melengos kesal. Kenapa dari sekian banyak orang, aku harus duduk berdekatan dengannya. Kursi di depanku diduduki oleh kameramen dan sutradara, pak Owi dan Pak Yahya. Sementara di belakang kami ada artis yang menjadi bintang iklannya. Dia seorang gadis muda berusia 18 tahunan yang keliatannya sangat moody. Namanya Naomi. Kursi disebelahnya ia biarkan kosong karena ia tidak mau harus bersebelahan dengan orang yang tidak ia percaya. Sementara itu, disamping kursi Naomi adalah penata rias dan manajer gadis itu.

Daucus terlihat sibuk memainkan handphonenya sebelum pesawat lepas landas. Aku memperhatikannya dengan seksama. Tiba-tiba dia menoleh dan memergokiku sedang memandanginya. Aku tersenyum ramah.

"Ada apa?" tanyanya datar. Ia terlihat mematikan ponselnya karena sudah terdengar pemberitahuan bahwa pesawat akan lepas landas.

"Menghadap ke aku," perintahku. Ia terlihat bingung, namun ia menuruti mauku.
"Sekarang ikuti aku, guuuu.. E...." kataku padanya. Daucus menurutiku dan ikut mengeja.
"Guuuu.. ee.."
"Sekarang, gue, elo, gue nggak mau kalau kayak gini," ujarku.
Lagi-lagi Daucus mengikutiku dengan bingung.
"Nah, gitu dong, kalau pake lo gue an kita jadi bisa akrab gitu. Dari pada aku kamuan, formal banget," kataku akhirnya. Daucus mengangguk lalu mengalihkan pandangannya pada tv. Huft, ni orang cuek banget sih.

Pikiranku teralihkan ke jendela pesawat. Aku melihat gumpalan awan yang berkumpul disekitar pesawat. Awan-awan itu terlihat seperti gulali. Setelah lamunan panjang, mataku tanpaku sadari mulai meredup. Aku pun  tertidur.
***

Mawar yang Telah GugurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang