I'm a barbie girl, nananana nanaana.
Suara dering ponsel Nokia N70 milikku membangunkanku dari tidur siangku yang sangat berharga. Aku meraba-raba meja rias disamping tempat tidurku dan kemudian menekan tombol hijau tanpa memperhatikan siapa yang menelpon.
Suara bass seorang cowok langsung memenuhi rongga telingaku. Aku agak terkejut. Pasalnya, handphone ini tidak pernah mendapat telpon dari cowok kecuali Rafless dan papaku. Tapi dua makhluk itu hanya akan menelponku disaat sangat-sangat darurat. Misalnya Rafless yang menelpon saat deadline skenario tinggal menghitung mundur sementara aku tidak memberi kabar sedikitpun tentang kesiapan skenario yang aku buat. Sementara papaku biasanya akan menelponku ketika dia dan seluruh keluargaku pergi jalan-jalan, dan aku bertugas menjaga rumah, tapi aku ketiduran waktu mereka pulang, jadi papaku pasti akan menelponku. Karena gedoran pintu saja tidak cukup membuatku bangun.Tapi kali ini, suara bass yang kedengaran sangat cool, yang jelas sangat jauh levelnya dari suara Rafless yang bawel dan judes apalagi suara papaku yang khas dengan logat minangnya sangat kental. Suara ini lebih terdengar seperti suara yang sering ku dengar waktu nonton tv yang bunyinya 'Bioskop trantv akan segera dimulai'. Tapi suara ini terdengar familier.
"Apakah saya berbicara dengan saudara Bunga, saya Daucus," kata suara itu. Aku pun tersadar bahwa suara ini memang suara Daucus. Pikiran tentang Daucus sempat terlupakan sejak beberapa hari yang lalu karena tugas kuliah yang terus memburuku.
Sejenak aku ingin menyahuti pertanyaannya dengan jawaban yang normal. Tapi jiwa isengku yang terpendam meronta-ronta ingin dikeluarkan. Selain itu, aku ingin tahu, seberapa tahan dia bersikap formal denganku.
"Bukan, saya bukan saudaranya Bunga," ujarku sambil cekikikan. Namun kejadian selanjutnya membuatku menyesal melakukannya. Tuut tuut. Tanda bahwa sambungan telponku sudah diputus. Aku menatap layar telponku dengan wajah setengah marah, heran, dan bengong. Ni anak nggak bisa diajak bercanda apa? Ujar hati kecilku. Sampai beberapa saat aku tak bisa melakukan apa-apa. Aku bingung, apa Daucus marah karena aku mempermainkannya? Sampai dia mematikan telpon begitu.
Tak berapa lama, alunan lagu Barbie Girl kembali menggema di kamarku. Dengan sigap aku segera mengangkat handphoneku."Halo, maaf cus, maaf aku nggak bermaksud mempermainkan kamu kok," ujarku dengan sopan takut dia tersinggung lagi.
"Cus? Gue Isal, lo lupa sekarang kita kuliah? Cepetan, hari ini pak Bombay nggak masuk, tapi ada asistennya, killer abis broh! Cepetan deh!" Seru Isal namun dengan suara berbisik seolah yang ditelponnya adalah seorang mafia.Aku melirik sekilas jam dindingku, dan pemandangan itu membuat tubuhku seperti dibekukan oleh senjatanya Gru di film Minion. Suara detik jam itu seakan-seakan lebih cepat dari suara detak jantungku sendiri.
"Oke Sal, gue kesana sekarang juga," kataku dengan cepat lalu buru-buru memasukkan beberapa buku ke dalam tas ranselku dan langsung berlari keluar kamar.
Aku tiba di kampus, dan saat diluar tadi aku melihat mereka, anak-anak yang sekelas denganku begitu tenang, tak serusuh biasanya.
Wah sekiller itu kah asisten dosen yang akan mengajar kami? Pikirku khawatir. Setibanya di depan kelas, aku memberanikan diri untuk menjatuhkan tubuhku di mulut harimau. Ternyata, mulut harimau yang ku masuki tak memiliki taring seperti harimau biasanya. Asisten dosen itu tersenyum sinis padaku. Dan tiba-tiba saja, aku merasa sebuah durian menjatuhi kepalaku. Asisten dosen itu sepertinya merasakan hal yang sama. Kami sama-sama terperangah sekaligus terkejut saat kami saling melihat.Setelah beberapa detik, kami segera kembali ke dunia nyata. Aku buru-buru memasang wajah dan sikap yang normal. Namun, teman-teman sekelasku yang tak normal. Mereka serentak tertawa seolah sudah dikomando. Seseorang melemparkan celetukan "Sarimin pergi kepasaaar," yang lain menimpali "Bunga bawak sarang burung dikepalanya"
"Valaaaak!"
Seisi ruang itu riuh. Aku melirik Isal dengan tatapan penuh tanya. Nyatanya Isal pun sibuk memegang perut karena terlalu keras tertawa. Sementara asisten dosen itu, seorang cowok yang sekitar limabelas menit lalu ku pikirkan, juga ikut tertawa terbahak melihatku. Akhirnya karena bingung, aku meminjam kaca pada salah seorang cewek di kelasku. Saat itulah, jiwa psikopatku muncul. Dioooooooo!!! Aku sekarang ingin sekali mengiris rambut keriting yang tadi pagi menumpahkan susu diatas print out tugasku yang ku selesaikan susah payah. Arghh!! Aku malu.
Kejadian siang itu memang tak sampai membuatku trauma melihat cermin, tapi kejadian siang itu mampu membuatku kehilangan muka di depan Daucus. Aku berjanji, untuk menyiksa Dio, jika aku pulang nanti. Tunggu? Daucus? Aku memukul kepalaku pelan. Sebegitu pentingkah dia sampai aku merasa sebegini malunya. Tunggu, tunggu, aku mencoba mengingat-ingat apakah aku meminum sesuatu yang aneh tadi pagi, atau siang tadi? Kenapa aku peduli dengan persepsi Daucus tentangku?
Isal menepuk tangannya di depanku dengan pelan."Woy, ngelamun aja lo, udah ilang semua kok," ujar Isal sambil membuang kapas terakhir yang digunakannya untuk membersihkan wajahku. Dio, dengan kejamnya menggambari wajahku seperti badut. Penuh bedak putih dengan bibir lebar dan mata yang dikasih lipstik merah. Selain itu, dia juga mengikat rambutku dengan asal sehingga rambutku terlihat seperti gumpalan sarang burung.
"Adek lo iseng banget ya, kawinin aja dia sama banci, biar tau rasa tu!" ujar Isal sambil menyeruput es jeruk pesanannya.
"Tapi nggak usah deh, kawinin sama gue aja," sambungnya lagi yang membuat mataku membesar. Isal tertawa cekikikan.
"Pedofil," kataku singkat. Tawa Isal makin kencang. Aku mengaduk mie ayam kesukaanku dan memakannya dengan suapan besar.
"Tapi kayaknya gantengan asdos kita tadi deh dibandingin adek lo itu," kata-kata isal membuatku tersedak. Isal menepuk-nepuk punggungku dan memberiku minum. Setelah reda, aku menarik nafasku dan memasukkan lagi satu sendok besar mie ayam ke mulutku.
"Katanya dia baru balik dari Amerika. Gue pengen gebet dia, tapi sayang udah ada tunangan katanya," dan untuk kedua kalinya, dan bahkan lebih parah dari sebelumnya, aku tersedak. Dengan terbatuk-batuk aku meraih gelas air putih milik Isal karena punyaku sudah habis.
Setelah bersusah payah menelan mie yang tersedak di tenggorokanku tadi akhirnya aku menarik nafas dan meletakkan sendokku.
"Lo, kenapa sih , keselek bisa sampe 2 kali kayak gitu," Isal berkata sambil menatapku dengan bingung."Gue juga bingung," kataku jujur. Aku juga bingung kenapa otak ini rasanya kaget setengah mati mendengar semua cerita tentang Ucus.
Aku mengambil gelas air putih Isal dan meminumnya lagi, hingga Isal berkata dengan lugas "Jangan-jangan lo suka sama Daucus Carota itu lagi?" dan kali ini, seluruh air dimulutku menyembur keluar dan membasahi wajah Isal.
"Bungaaaaa!!!!".
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar yang Telah Gugur
RomanceAku Mawarmu. Tapi aku telah gugur. Aku telah hancur. Aku telah mengering. Dan itu semua karena kamu. TTD Mawar yang telah gugur