Namaku Mawar, bukan bukan, aku Rose!

144 5 0
                                    

Waktu kecil aku sering mengeluh pada mama dan papa karena mereka memberi nama aku Bunga. Aku protes karena ketidakjelasan namaku. Bunga? Bunga apa yang mereka pikirkan waktu memberi aku nama. Jangan jangan mereka memberi namaku karena terinspirasi dengan bunga bangkai lagi. Setelah beranjak dewasa, baru aku menyadari bahwa mereka memberiku nama yang indah, nama yang selalu diinginkan para wanita dewasa. Bunga Deposito, eh maksudnya Bunga Desposita. Waktu itu tentu saja sulit untuk menjelaskan padaku maksud dan arti namaku sebenarnya. Namun karena rengekanku tidak juga berhenti, akhirnya kakak perempuanku, Delima yang saat itu masih SMP membujukku. Dia mengatakan bahwa aku ini bunga mawar. Bunga yang cantik tapi tidak lemah karena memiliki duri sebagai senjata untuk melindungi dirinya. Ia juga mengatakan bahwa bunga mawar akan semakin indah jika dengan durinya ia bisa melindungi makhluk lain juga. Tangisanku pun mereda saat itu. Lalu dengan gembira aku berlari dan mengatakan pada semua orang yang ku kenal bahwa namaku adalah Mawar. Bunga Mawar.

Saat itulah aku bertemu dengan segerombolan anak laki-laki yang usianya kira-kira 1 tahun di atasku sedang mengerumuni seorang bocah berambut keriting. Awalnya aku tidak begitu peduli. Namun kata-kata kakakku terngiang-ngiang ditelingaku. Bahwa mawar adalah bunga yang baik hati, yang akan melindungi orang lain yang butuh pertolongan. Lalu dengan semangat perjuangan, aku pun menyibak gerombolan itu dan menyuruh mereka pergi. Dengan berkacak pinggang, aku meneriaki mereka bahwa perbuatan yang mereka lakukan tidak baik.

Kebetulan sekali salah satu diantara mereka adalah tetangga yang sering bermain denganku. 

"Eh Bunga, kamu kenapa sih belain dia, lihat tu muka dia kan aneh, beda sama kita, apalagi rambut keritingnya itu" katanya sambil menunjuk bocah laki-laki yang berada di belakangku. Bocah itu menunduk dan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Memang anak ini agak aneh. Kulitnya putiiih sekali dan rambutnya keriting ikal berwarna pirang kecoklatan. Namun aku pernah melihat anak-anak seperti ini saat liburan ke Belanda saat umurku 5 tahun. Dan mereka sama saja seperti anak-anak lain. Tidak ada yang berbeda.

"Pokoknya kalian nggak boleh jahatin, meskipun dia beda dari kita," ujarku masih dengan berkacak pinggang. Anak-anak lain yang mendengar kata-kataku saling berbisik. Lalu dengan kompak mereka menyanyikan lagu.

"Bunga suka sama orang aneh, Bunga suka orang aneh, hiiiii," nyanyian mereka bergema dengan kencang dan membuat beberapa orang dewasa yang lewat memandangi kami. Aku benar-benar malu dan kesal. Akhirnya aku menggeram dan mereka pun berlarian ketakutan.

Sesaat setelah komplotan geng anak nakal itu pergi, aku menghampiri bocah keriting itu. Dia sepertinya memang keturunan asing karena kulitnya dan rambut serta matanya yang berwarna abu-abu itu. Namun kontur wajahnya terlihat sama saja seperti anak Indonesia lainnya. Dengan ceria aku memperkenalkan diriku padanya.

"Hai, aku Mawar. Bunga Mawar," ujarku dengan bangga. Kemudian aku menunjuk beberapa tumbuhan mawar liar yang ada di sekitar tempat kami berdiri.

"Rose.." bisiknya lirih. Aku mengangguk-angguk senang. Sejak saat itu aku bermain dengannya. Dia bercerita bahwa dia akan tinggal di Bandung. Meskipun terlihat bule, dia bisa berbahasa Indonesia dengan fasih. Dia juga mengaku bahwa selama ini dia sering bolak-balik Indonesia dan Sidney. Dulu aku tidak tahu Sidney itu daerah apa. Karena yang aku tahu saat itu hanya bermain.

Pertemanan kami putus, setelah kejadian tak menyenangkan itu terjadi. Bocah itu, Daucus, tak pernah lagi ku lihat sejak kecelakaan itu. Setiap hari aku menangis, dan tentu saja yang kebagian membujukku adalah Delima. Dia selalu mengajakku bermain, hingga aku lupa pernah memiliki teman bernama Daucus. Namun, yang tak pernah hilang dari ingatanku adalah kejadian jatuhnya. Bayangkan, bagaimana anak laki-laki umur 8 tahun jatuh dan berdarah tepat dihadapanku. Dan akibatnya sampai saat ini aku sangat takut melihat darah, terutama darah mengalir. Bahkan saat membersihkan pembalut ketika menstruasi pun ku lakukan dengan mata tertutup.

***

Bunga Desposita, siapalah yang tidak akan tertawa mendengarnya. Nama itu seolah-olah terinspirasi dari bunga deposito. Yah, memang, itu sebagian dari harapan orang tuaku, mengharapkan aku mendapat bunga deposito yang besar sehingga aku tidak perlu bersusah payah bekerja. Nyatanya, aku masih harus bersusah payah untuk bisa mendapatkan uang.

Dan kali ini, lagi-lagi seseorang menertawakan namaku, meskipun ia tidak menunjukkannya terang-terangan sih. Tapi tetap saja.

Aku mempersilahkan Daucus untuk duduk di kursi yang memang disediakan untuk pengunjung taman ini. Kami sengaja memilih tempat yang paling strategis untuk bertemu. Tempat yang dekat dengan kampusku sekaligus dekat dengan perusahaan yang akan membiayai kami. Tulip juga ikut bergabung dengan kami. Sesekali gadis itu memoleskan wajahnya dengan spons bedak. 

Setelah diskusi yang cukup alot, akhirnya pertemuan hari itu selesai dengan keputusan bahwa aku harus merevisi beberapa bagian skenario yang menurut Daucus masih kurang menarik. Ia memberiku waktu seminggu untuk menyelesaikannya. Atas dasar keprofesionalan aku pun menyanggupi permintaannya. Setelah itu Daucus pun pergi tanpa banyak kata. Padahal aku masih sangat ingin mengetahui apakah ia benar bukan temanku, tapi itu mustahil sekali. Jelas-jelas mata abu-abu, rambut keriting ikal, dan kulit putih yang meskipun sekarang agak kecoklatan dibandingkan dengan Daucus dalam ingatanku, tapi aku yakin 70% bahwa itu dia dan 30% sangat yakin sekali. Namun aku tidak tahu kenapa ia tidak mengingatku. Ahh, bodohnya aku, siapa juga yang akan mengingat teman masa kecil yang hanya dijumpai selama beberapa minggu. Dia pasti lupa, iya dia pasti lupa. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri.

Mawar yang Telah GugurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang