X

15 11 5
                                    

Kedekatanku dengan Uta Hesper semakin menjadi-jadi saja, aku tak tahu apa yang menyebabkan kami semakin sedekat pasangan kekasih, tetapi yang ku tahu, aku memang mencintainya. Tiga tahun sudah, perasaan cinta yang ku rasakan ini semakin besar tiap harinya. Kami melakukan banyak hal bersama-sama. Kami berbagi kenangan bersama-sama. Semuanya terlihat indah pada waktunya. Inilah takdirku, takdirku untuk bertemu dengannya, takdirku untuk mengenalnya, dan takdirku untuk mencintainya. Hingga aku dan Uta benar-benar menjadi pasangan kekasih sungguhan. Jika aku memikirkan alur seperti ini dalam hidupku sedari awal, tidak, aku takkan pernah bisa menduganya.

Namun, Uta harus melanjutkan studinya di Inggris selama tiga tahun, tepatnya Universitas Sheffield Hallam dan ia mondok di Desa Edensor, distrik Derbyshire Dales, Kabupaten Derbyshire, provinsi East Midlands, Inggris. Aku mencemaskan dirinya. Dirinya akan melupakan pria tak berguna seperti aku ini, dirinya akan melupakan pria yang sudah berjalin cinta dengannya tiga tahun, atau bahkan hal-hal tak terduga lainnya; yang sangat ku cemaskan. Namun, apa dayaku? Aku tak mungkin melarangnya.

"Aku berjanji akan kembali padamu."

"Dan aku berjanji sesegera mungkin menikahimu ketika kau kembali nanti. Aku akan terus berjuang untuk mencukupi finansialku, agar kau tidak akan begitu malu memilih pria sepertiku ini."

Komitmen yang aku dan Uta buat memang sudah cukup serius, aku menabung mengumpulkan uangku untuk menikahinya suatu hari nanti. Aku juga memiliki usaha bengkel motor dan mobil untuk menambah penghasilanku. Aku bukanlah pria dengan kantung tipis lagi. Uta telah mengubahnya menjadi sangat berarti.

Ia membuatku hidup

Ia melukiskan warna-warna indah dalam hidupku.

Ia mencintaiku, aku mencintainya – akan selalu seperti itu.

Hingga suatu saat, November 2002. Semuanya mulai berubah. Takdir tak lagi memihak kepadaku. Ia berhenti mengabariku, seakan hilang ditelan bumi. Aku memikirkan dirinya. Apa yang sedang ia lakukan? Bagaimana keadaannya? Bagaimana hari-harinya? Rasa tenang dan cintaku menjelma menjadi kekhawatiran yang mulai menggerogoti diri. Aku merasa begitu MASYGUL.

Oh, sayangku, dimanakah dikau?

Bukan aku si nyala api,

Atau sang surya,

Yang selalu menghangatkan dinginnya rindu.

Bukan lagi.

Menatap temaram senja di atas genting, mendengar desiran air sungai, serta aroma pohon-pohon disekelilingku menenangkan. Namun, jiwa ini tetaplah mengkhawatirkan dirinya. Meski sudah satu tahun ia tak menghubungiku, sama sekali tak menghubungiku, membiarkan diriku jatuh begitu terpuruk, aku masih tetap merasakan cintanya yang teramat dalam. Ingatan akan sentuhannya, senyumannya, bahkan rupanya masih sangat nampak jelas dalam otakku.

Tuhan, Aku merindu.

Untuk keseribu kalinya, aku menelfonnya kembali dan keajaiban muncul dihadapanku! Telinga yang begitu merindu akan suara lembut dirinya sedang bergetar sebab gelombang suara miliknya begitu menyentuh hingga menjalar dalam darahku. "Uta, apa kabarmu? Mengapa kau tak pernah menghubungiku? Kau tahu, aku sangat merindukanmu sampai-sampai mau mati." Tak terkontrol diriku ingin menceritakan segalanya yang telah aku lewati di sini dan mendengar ceritanya jauh dari negri sana.

"Who am I talking to?" Ujar suara itu dari gagang telfonku.

"Aku Ahad. Oh? Apa aku sedang berbicara dengan Uta Hesper? Pujaan hatiku?"

"Im sorry, please talk with English."

"Uta Hesper, is that you? Where have you been hiding? You are my Schatz, my first and only bae. Don't you remember me, babe? What makes you forget me so easily? You disappointed me. Im your Ahad."

"Yas, Im Uta Hesper, but I don't know you. I don't really know you. Sorry, seems like you got the wrong number and got the wrong Uta Hesper. Bye." Suara terputus, ia-benar-benar-melupakanku. Sungguh, diri ini begitu tak percaya, gamang, dan kandas. Aku kembali mencoba menghubunginya berkali-kali, dan ia mengabaikannya, ia tak sekalipun mengangkatnya. 

Aku menyadari suatu hal:

Ia adalah alasanku untuk hidup,

ia adalah alasanku untuk mati.

Haruskah aku mati karenanya? Menguburku dalam kesedian tak terelakan.

Aku meringkuk tak karuan. Air mata bertitikan seperti seorang bocah cengeng yang permennya telah di rampas. Deraian air mata, berebas seperti hujan. Aku melupakan dunia, aku melupakan segalanya. Ia yang selalu membaluti hidupku dengan kasih, kini hidupku telah bertelanjang bulat, perlahan mengkerut karena dinginnya rindu yang terus saja menepikan kehangatan. Apa yang aku khawatirkan sedari dulu, telah terwujud sesempurna mungkin. Lanyak Sekali!

Ataukah... aku harus berpikir lebih kritis?

Tak mungkin aku terus saja tertimbun dalam getir kesedihan dan tak pernah menggali untuk keluar dari lubangnya. Aku memanglah patah hati, aku memanglah menyesali segalanya. Aku menyesal atas kebodohan diriku yang tidak melarangnya untuk pergi jauh dariku. Namun, ia pasti memiliki alasan yang masuk akal untuk menjelaskan semua ini. Ia tak mungkin setega itu padaku, pada kekasihnya, pada pujaan hatinya. Meninggalkan pujaan hatinya, sendiri. Mungkin selama ini dia berbohong? Tidak. Sial aku terus-terusan menyimpulkan tragedi yang menimpaku ini – Tragedi adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan kisahku.

"Aku harus mencari tahu sendiri kronologis misteri ini!" Aku berseru, bangkit dari kasur yang menemaniku tanpa berpisah selama dua hari terakhir. Aku takkan berputus asa untuk mengejar pujaan hatiku.

[]

Temaram SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang