#6 SEBUAH JANJI

64 2 0
                                    


Nama wanita itu Kusmawarni. Ia dulunya cantik dan pintar, kata orang-orang. Tapi aku tak yakin apa yang dikatakan orang-orang itu benar. Warni, begitu ia akrab disapa warga. Ia tidak tinggi, tidak putih, rambutnya tidak panjang, tidak terlihat pintar dan tidak terlihat kaya. Kata warga di sana, usianya juga tak jauh berbeda denganku. Setelah kuperhatikan, Marni terlihat cukup manis karena matanya yang bulat dan indah. Bulu matanya lentik dan lebat. Kurasa daya tarik Warni hanya terletak pada matanya. Selebihnya ia terlihat kusam dan tua. Kubandingkan dengan diriku yang selalu menjaga penampilan, kami sangat berbeda.

Aku adalah seorang dokter muda. Aku dipindahtugaskan di daerah yang jauh dari perkotaan. Sebuah desa kecil di Batang Cenaku, Indragiri Hulu. Kehidupan di sini tak jauh berbeda dari tempat lainnya. Dan yang paling aku sukai adalah sikap warga disini. Warga disini sangat ramah. Aku disambut dengan hangat oleh warga. Semuanya terasa hangat walaupun baru pertama kalinya aku menginjakkan kaki disini. Tetapi, memang takkan semuanya berjalan dengan baik. Kudengar tidak ada aliran listrik di desa ini sehingga membuat malam akan menjadi benar-benar gelap. Aku tak suka kegelapan. Membayangkannya saja aku mulai meriang.

Agar segala urusan lancar, Warni ditugaskan untuk membantuku di klinik desa. Ia yang membereskan ruangan, membersihkan alat-alat praktikku, membantuku ketika sedang memeriksa pasien, atau sekedar menemani aku bercerita. Warni tipikal orang melayu kebanyakan, suka berbual. Tak menjadi masalah olehku karena dengan begitu aku tidak kesepian. Satu yang tak bisa dibantu Warni adalah tetap berada di klinik bersamaku pada malam hari.

Seminggu telah berjalan aku tau bahwa Warni sudah menikah dan sudah punya anak. Inilah yang menjadi alasan mengapa Warni tak bisa ke klinik pada malam hari, karena Warni adalah seorang istri dan seorang ibu. Suaminya seorang duda sakit-sakitan yang memiliki dua anak bahkan salah satunya lebih tua dari Warni. Warni terpaksa melakukannya karena terlilit hutang keluarga. Seperti cerita sinetron di televisi saja, pikirku. Warni melakoni hidupnya dengan penuh derita. Kini ia tinggal hanya dengan keluarga kecilnya, karena orang tua dan saudara-saudaranya telah pergi ke Jawa. Ini iba pertamaku untuk Warni.

Warni ternyata baik sekali. Jika aku baru menginjakkan kaki di kilnik, ia sudah selesai membuatkan aku teh dan menyediakan kue bolu atau keripik pisang.

"Terimakasih War. Apa kabar suami? Tidak marah dia, kamu pagi-pagi sudah di sini?" tanyaku sambil menyeruput air teh hangat itu.

"Tak lah, Buk." katanya.

"Anakmu?"

"Yang godang, belum balek lah tiga hari, Buk. Yang kecik pergi sekolah"

Anak tertua Warni adalah laki-laki yang umurnya lebih tua dari Warni, pekerjaannya pun tidak jelas. Sedangkan anak bungsunya selalu dikucilkan teman-teman yang lain karena dianggap aneh dan terlalu pendiam, padahal ia adalah gadis yang cantik. Begitu kabar yang aku dengar dari warga.

Begitulah hari-hariku berjalan. Kini aku dan Warni sudah seperti sahabat. Usia kami yang sepantaran membuat kami makin cepat akrab. Warni suka bercerita tetapi ia juga pendengar yang baik. Ia sangat suka jika aku menceritakan soal Farhan, kekasihku. Ia akan mulai menggodaku untuk cepat menikah dan terus menggodaku sampai aku harus memohon padanya untuk berhenti.

Matahari sudah lumayan tinggi tetapi Warni belum juga datang. Aku berjalan-jalan di sekitar klinik dan bertanya apakah ada yang melihat Warni.

"Pak Sakir, maninggal", begitu kabar yang kudengar dari salah warga . Sakir adalah suami Warni. Tanpa pikir panjang, aku tutup klinik dan segera ku langkahkan kaki menuju rumahnya Warni. Sudah banyak yang hadir di sana. Aku yakin mereka mereka datang bukan untuk melihat Pak Sakir,  tapi untuk menghargai Warni. Warni terisak di samping jasad suaminya, begitu juga dua anak tirinya. Kini mereka lebih terlihat seperti adik beradik. Sedih betul aku melihat Warni. Iba keduaku untuknya.

Sekotak Cerita Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang