#7 RASA YANG AKU PUNYA TAK SEHARUSNYA AKU MILIKI (1)

88 3 0
                                    

Tak mudah untuk kembali mencinta ketika pernah terluka. Tak mudah kembali jatuh hati kala pernah tersakiti. Sulit memang untuk kembali menaruh percaya pada seseorang. Rasa takut kembali sakit dan terlalu pasti ada. Kekecewaan pada masa lalu sering dijadikan alasan untuk sendiri saja dulu.
Setidaknya begitulah yang aku rasakan.

Aku tidak menutup diri untuk orang lain, tapi lebih hati-hati agar tak terjatuh. Sebab, jatuh yang sulit ditemukan obatnya adalah jatuh hati. Sakitnya menahan rindu sendirian, sakitnya melihat dia tertawa bersama orang lain, sakitnya menahan cemburu, pokoknya bikin jatuh sakit.

Tapi, bukankah orang yang patah hati juga berhak mencinta lagi? Tidak ada jaminan kita akan menemukan sakit yang sama dengan orang yang baru.
Sebab setiap cinta punya cerita yang berbeda. Mungkin kau akan kembali terluka, atau malah sebaliknya. Menemukan seseorang yang lebih baik dari sebelumnya. 

Aku menatap langit-langit kamarku. Menimbang perasaan apa yang sedang menggelayut dalam hatiku. Setahun telah berlalu sejak aku memutuskan untuk sendiri saja dulu. Aku tak pernah kesepian. Ada saja yang mengisi kosongnya ruang-ruang di hatiku. Aku masih menikmati bagaimana rasanya sendiri. Tapi, semua cerita berlalu begitu saja. Tak ada yang benar-benar singgah dan menata berantakannya hatiku.

6 bulan yang lalu. Dengan segala keentahan yang tak beradap aku mengenal seorang lelaki yang 'terlanjur' membuatku nyaman lagi. Singkat saja perkenalan itu. Tak ada yang benar-benar menarik. Kami bertukar kontak dan saling menghubungi. Sejak saat itu, rutinitasku bertambah untuk sekedar memberi kabar aku di mana dan bersama siapa. Diapun melakukan hal yang sama.

Awalnya biasa saja. Semakin lama, aku merasa ada yang janggal. Benar sekali. Ada yang tumbuh tapi tak kutanam: rasa.

"Udah makan?"
"Lagi apa?"
"Aku udah sampe di rumah"
"Di mana?"
"Tidur sana"
"Bawa istirahat dulu"
"Nanti sakit, loh"
"Jelek"
"Mandi sana"
"Kan ada kamu"
"Mimpi indah"

Kalimat-kalimat singkat yang tak seberapa itu ternyata berhasil membuat aku senyum-senyum sendiri. Aku takut, aku jatuh cinta lagi. Jujur, kalimat-kalimat singkat nan rupawan itu memporak-porandakan benteng pertahanan hatiku.

Sekedar chat saja sudah membuat aku lupa tidur. Membicarakan banyak hal sampai larut malam. Berbohog kalau belum ngantuk padahal pasang alarm 3 menit sekali supaya bisa tetap saling komunikasi. Aku rasa aku sudah gila.

Kadang, dia menghilang tanpa kabar. Aku panik sendiri. Kalau udah begitu aku uring-uringan sendiri. Aneh. Kukuatkan diriku sambil berdiri di depan cermin.
Helloooooo. Dia bukan siapa-siapa kamu, ngapain galau gak dikabari.

Cara itu sama sekali tidak berhasil. Meskipun aku menyibukkan diri dengan kegiatan lain, tetap saja mataku menunggu kabar dari dia. Apa aku benar-benar jatuh cinta lagi? Aaah entahlah. Entah aku yang terlalu perasa, atau dia yang memang lihai bermain rasa.

Seperti biasa, di sela jam makan siang kami saling mengabari dan membicarakan hal-hal tak penting.

"Iya. Sekolahin aja anak kamu di luar negeri sekalian" kataku.
"Anak kamu? Bukannya anak kita"  tanyanya plus dengan emoticon bermata bentuk hati. Sial.

Anak kita. Garisbawahi anak kita.
Anak kita.
Hahaha aku tertawa membaca pesan itu. Anak kita, katanya. Dua kata, hanya dua kata. Tapi itu cukup membuat aku terasa melayang di udara. Sederhana memang. Tapi percakapan seperti itulah yang membuat indah hubungan tak jelas ini.

Tak hanya itu, dia sering tiba-tba muncul di depan rumahku. Mampir karena kebetulan lewat, katanya. Atau tiba-tiba mengajakku jalan atau nonton. Saat dia pergi bersama temannya, dia mengabari bahkan pap sesuatu dan mengirimkannya padaku. Hal-hal kecil itu yang membuat aku merasa di'spesial'kan. Dengan semua perlakuannya, bolehkah aku memendam rasa? Aku masih mencoba bertahan dan menganggap semua yang dia lakukan sebatas teman baik, sahabat.

Sampai malam itu tiba.
Malam itu hujan turun sangat deras. Aku menunggu bus ingin pulang. Halte sepi, cuma aku dan seorang ibu paruh baya. Jalanan juga sepi karena hari hujan. Aku tak bawa kendaraan karena dipakai oleh kakakku. Padahal tadi cerah, sesalku dalam hati. Lamaaaa sekali kami menunggu. Akhirnya sebuah mobil menghampiri kami. Ibu itu bergegas tegak dan berlalu. "Pake Uber aja, Neng, kalau mau pulang. Kalau ujan gini jarang ada bus lewat sini" katanya sebelum masuk mobil. Belum sempat aku menjawab dia sudah berlalu.
Kulihat jam tanganku, sudah pukul 22.45. Berati sudah 1 jam aku menunggu. Aku mulai khwatir jika benar tidak ada bus yang lewat. Akhirnya kuambil handphoneku untuk pesan taksi online. Zonk. Handphoneku mati kehabisan batre. Rasa kesal bertubi-tubi menghampiriku. Menahan sabar aku mencari powerbank di tas dalam gelap. Tidak ada. Kok nggak ada? Mana nih powerbank aku?
Tanganku berhenti mencari, teringat kalau powerbankku tertinggal di rumah sedang aku charger. Ingin menangis rasanya.
Kuambil handphone lipatku. Handphone khusus yang aku pakai untuk urusan kerja. Cuma dua orang yang terlintas dipikiranku
Dia dan Mbakku. Aku menimbang-nimbang siapa yang harus aku hubungi. Kalau aku hubungi dia, aku takut dia menolak, nanti hubungan kami jadi gak enak. Apalagi ini sudah terlalu malam untuk memintamya menjemputku. Tapi, Aku tak ingin menyusahkan Mbakku.
Aku meragu. Akhirnya, aku memutuskan untuk telpon Mbak dulu. Menggigil aku telpon Mbakku.

"Mbak, hujan deras di sini aku gak bisa pulang"
"Kamu di mana?"
"Di halte ujung depan Rumah Sakit Kusuma"
"Sendirian??"
"Iya, Mbak. Jemput plis, bus gak ada yang lewat. Handphone mati mau pesen uber"
"Oke tunggu di sana"

Senyumku mengembang. Mbakku, kakak satu-satunya yang sangat aku sayangi. Bahkan di tengah hujan deras begini dia masih mau menjemput aku. Setengah jam berlalu. Aku makin kedinginan. Mbak kok lama banget ya? pikirku. Hari makin larut, sangat sepi dan makin dingin. Badanku makin menggigil, bibirku ikut bergetar. Kukepalkan kedua tanganku karena dingin. Tak lama aku melihat dari kejauhan cahaya mendekat. Aaah akhirnya Mbakku datang.
Tapi, itu ternyata sebuah mobil. Aku takut sekali itu mobil orang jahat yang sekarang lagi booming mengambil organ dalam tubuh manusia. Aku belum bisa bahagiakan Bapak Ibuk, aku belum menikah, kataku dalam hati.

Aku diam saja tak bergerak. Mobil itu berhenti tepat di.depanku. Keluar seorang laki-laki. Laki-laki yang kukenal 6 bulan lalu itu, yang sering datang ke rumah, atau mengajakku pergi jalan, laki-laki yang barusan ingin aku hubungi.
Ari.
Ari?
Ari?
Ari?
Kok?
Kenapa dia di sini? Entah karena dingin, otakku juga membeku jadi tak bisa memberikan perintah untuk melalukan sesuatu. Aku diam tak bergerak. Dia berlari ke arahku. membuka jaketnya dan memakaikannya padaku. Hangat.
Dia duduk, menggenggam tanganku dengan sangat kuat. Lagi-lagi yang ku rasa hanya perasaan hangat. Aku cuma merasakan hangat dan diam diperlakukan seperti itu.
"Kenapa gak ngabari aku? Kamu kan bisa minta jemput dari tadi. Kamu kedinginan gini jadinya. Yaudah yuk pulang" katanya bawel.
"Mbak Tia bentar lagi sampe" tolakku.
"Mbak Tia yang telpon suruh jemput kamu"
Heol~
Jadi ini kerjaan Mbak Tia. Yakali dia mau ujan-ujan jemput aku. Ternyata dia nyuruh Ari untuk jemput.
"Kok diem?? Ayok pulang" Ari menarik tanganku. Aku tak punya pilihan lain. Baru 3 langkah dia berhenti. Badannya berbalik.
"Kenapa?" tanyaku.
Alih-alih menjawab pertanyaanku, tiba-tiba dia memelukku. Erat sekalii. Bahkan aku merasakan detak jantungnya. Jantungku juga berdetak sangat cepat. Darahku berdesir. Aku kedinginan, tapi juga merasakan hangat dan nyaman sekali dalam pelukannya.

"Aku khawatir sama kamu"
Duar! 4 kata luar biasa yang benar-benar melelehkan gunung es dalam hatiku. Aku tersenyum. Bolehkah aku mengakui bahwa aku benar-benar menyukainya? Apakah benar rasa ini boleh aku miliki?

(bersambung)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 29, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sekotak Cerita Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang