With All of My Heart

44 8 2
                                    


HARI pertama tryout, bagiku, sangat mendebarkan. Sejenak, aku merasa sesak. Sulit bernapas. Tercekik. Putus asa.

Namun, kamu datang bak pahlawan. Hari itu, di hari Senin mendung namun tidak di sertai hujan, aku mengenal kamu. Aku melakoni perbincangan pertamaku dengan kamu. Sejenak, aku merasa beruntung. Sejenak, aku berpikir, bahwa Tuhan sedang menunjukkan kekuasaannya padaku. Tryout, bagiku, sudah bukan menjadi perkara yang hampir membunuhku lagi.

Mungkin bagi kalian, tryout hanyalah uji coba Ujian Nasional. Namun bagiku, di setiap kehidupan, pasti ada ujian. Dan aku telah berjanji, bahwa aku akan menghadapi ujian apapun sekuat mungkin, setegar mungkin.

Kamu membuat keringat dinginku berhenti mengalir dari pori-pori. Kamu membuat jantungku berdegup kencang---karena tawa renyahmu, bukan karena soal Bahasa Indonesia yang mendebarkan itu. Kamu itu bagaikan oasis, di padang pasir yang luas. Fatamorganaku.

●●●

"Lo udah selesai?" sapamu.

Kala itu, aku hanya mengangguk. Aku terlalu gugup.

Namun, kamu mengeluarkan jurus jitumu. Senyum manismu. "Jangan kaku gitu, lah. Gue bukan orang jahat, kok. Enggak minat nyontek juga."

Sungguh, maksudku bukan seperti itu Davial. Aku gugup. Karenamu. Dan harusnya, kamu sadari itu.

"Bukan ... maksud ak--gue, itu .. "

Kamu tersenyum, lagi. Kamu sungguh ramah. Manis. Tapi, apa senyum itu hanya kamu tunjukkan kepadaku? Atau ada gadis beruntung lain, yang dapat menyaksikan itu?

"Iya, ngerti. Anak unggulan kayak lo, bukan tipe-tipe yang freak gitu, kan? Masih punya selera humor. Bener nggak gue?"

Aku tergelak. "Kayaknya, pertanyaan lo awkward banget?" sahutku, sedatar mungkin.

Aku hanya tidak mau kamu tau, bahwa ketika jantungku berdetak, ia menyerukan namamu. Aku tidak mau kamu tau, dan kemudian kamu pergi. Itu menyakitkan. Sungguh. Aku hanya ingin mengubur perasaan ini dalam-dalam. Menyimpannya sebagai arsipku. Menyimpannya sebagai lalang-buanaku.

"Awkward Davial? Boleh juga, tuh. Tapi, omong-omong, lo tau skor Liverpool versus Barcelona yang semalem, nggak?"

Aku mengangguk. Hal itulah yang membuat aku merasa mengantuk, kini. "Tau, dong. Liverpool-Barca, 0-2. Barca menang. Seneng gue."

"Kok seneng?" jawab Davial, dan kulihat dia mengulum senyum.

"Puas banget gue liat Suarez bisa munculin muka dengan sombong di hadapan Liverpool lagi. Secara gitu ya, walaupun dulunya Suarez udah bawa Liverpool ke final Liga Inggris tahun 2014, eh dia didepak gara-gara insiden dia gigit pemain lain di Piala Dunia. Sakit hati banget gue."

"Ngapain sakit hati?"

"Ya sakit hati aja, lah. Kayak kurang ajar banget. Manis dihisap sepah dibuang itu namanya."

"Hahaha." Davial tertawa. "Aneh lo, ngapain sakit hati? Orang elo anaknya Suarez bukan, istrinya bukan, neneknya bukan. Ya namanya juga klub bola komersial. Ya pasti mereka nyari pemain yang bisa bawa banyak uang ke mereka, lah."

"Ya tapi kan gue tetep sakit hati." Aku bersikeukuh. Aku tidak tau mengapa perbincanganku dengan Davial soal pertandingan Liverpool vs Barcelona dapat membawa atmosfer seakrab ini. "Gue udah beli suvenir Liverpool banyak. Sampe beli hoodie, sarung bantal, sprei, juga di internet."

"Hahaha, terus lo pernah update status 'Gue mah fans sejati dan bukan fans karbitan.' lagi?"

"Hahaha." Aku tertawa mengingat hal itu. "Tau aja lo."

CRY BABY [ONE SHOT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang