(Akh Rahmat)Gulita mulai menjalar dari ufuk timur hingga ujung barat. Bintang yang bertebaran mengusir gelap dari atas nan jauh di sana. Sia sia. Gelap terlalu hebat dari cahaya ciriyus sekalipun. Telak.
Gulita mengabarkan kepada Ruknudin Duhaydar. Berita tentang hati yang gelap dan buncahan kepengecutan. Gagahnya imperium peradaban malam itu seolah menjadi buih yang di gesak gerombolan serigala lapar nan beringas. Lolongan makhluk berlidah lebar itu menjuntai memberi aba-aba pada "Setan" di balik bukit. Gemeretak menggigil bocah-bocah ketakutan.
Gulita itu iblis. Wujudnya tampak bila gelap telah sampai di puncak. Bola mata merah menggarang menatap tajam penuh nafsu. Benteng Alamut sekejap saja telah menyala berkobar durja. Sembari mengangkat tangan, ratusan ribu setan bermata sipit menggulung bukit berjejal batu. Mereka menelan bukit bulat bulat. Alamut pun binasa.
Raja bergelar Ruknudhin memekik pahit. Ia pikirkan perutnya di hadapan raja iblis. Pengikutnya menikmati mulus kulit-kulit peri dari ujung rambut sampai ujung kaki. Gadisnya di angkat setinggi mata, anak busur mengincar dada dan mengoyak perutnya berburai-burai. Jeritan kesakitan bergelut dengan kokok ayam. Alam merekam kepahitan kelam dari bukit alamut yang menggulita. Tawanya setan mengusir gelap. Tapak kakinya membangunkan fajar. Dan amarahnya menghanguskan benteng kegagahan imperium Abbasyiah.
Malam itu, Iblis botak memproklamirkan peperangan pada pasukan panji hitam dari balik bukit Iraq, dan membangunkan tentara peradaban berpanji putih, Liwa' dari dataran mesir. Kelak, sejarah mencatatkan benturan mahadahsyat. Sampai anak tuyul seklipun lari tunggang langgang. Mereka lupa, bahwa darah pernah mengalir deras dari negeri Sadam Hussein. Oleh si botak Hulagu, cucu Jeng his bergelar khan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spirit Kemenangan
Non-FictionBerisi tulisan lepas yang memuat isi hati dan pikiran penulis