Detik tidak terasa telah menjadi menit, tetapi gadis itu tidak dapat merasakannya. Karena baginya, satu detik seolah selamanya.
Angin yang berembus hilang dalam sekejap. Sekelebat rasa dingin tiba-tiba mengiris kulit gadis tersebut. Apakah aku sudah mati? Batinnya. Kathline lantas membuka kedua kelopak matanya yang sedari tadi tertutup.
"Gelap!" ujarnya dengan napas serak dan tercekat. Dalam posisi telentang, dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, berusaha mencari setitik cahaya di kegelapan. Dia ingin sekali bangkit dari posisinya, tetapi tidak bisa. Ada sesuatu yang menindihnya. Tak kasatmata.
"Tolong ... aku!" dia mencoba berteriak. Setiap kata yang terlontar seakan membuat tenggorokannya perih.
Tiba-tiba, suara berderak dan bergemerincing mendadak terdengar di kejauhan, seperti suara rantai yang diseret kasar. Kathline mencoba menebak-nebak suara apa itu dan dari mana asalnya, tetapi beberapa detik setelahnya, bunyi tersebut menghilang, lantas tergantikan dengan teriakan melengking dari segala penjuru arah.
Gadis itu panik, dia mengerjap berulang kali, berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Namun apa daya, kepanikannya semakin menjadi-jadi. Berbagai emosi berkecamuk dalam pikiran dan perasaannya. Bingung, penasaran, ketakutan, bahkan panik. Kathline seolah mendapat pukulan keras di kepalanya.
Dan untuk kali pertama, dia menangis walau sebelumnya dia tidak bisa melakukannya. Setiap tetes air mata yang keluar menandakan bahwa dirinya cukup takut dan gemetar.
Keadaan bertambah buruk, Kathline merasa bahwa tubuhnya tidak menyentuh apapun. Dia seperti melayang persis di kekosongan, dikelilingi pekikan melengking entah dari mana sumbernya. Kedua netranya hanya dapat terbelalak melihat kegelapan yang tak berujung.
Waktu merambat dan terus berjalan, rasa takut serta panik menjadi rasa mual yang tak tertahankan. Suara nyaring terus terngiang dan mencoba memperkeruh keadaan. Pandangnnya berputar. Berusaha melawan dorongan untuk muntah, Kathline malah mengeluarkan isi perutnya itu hingga wajahnya telah berlumuran muntahnya sendiri.
Kathline semakin menangis, tetapi kesengsaraan gadis malang tersebut ternyata belum berakhir. Mendadak, muncul aroma memikat di dekatnya. Parfum! Batinnya. Aroma yang cukup familier dengannya.
Kathline kemudian menutup mata, menghiraukan aroma dan teriakan dari segala penjuru arah. Dia lalu menjelajahi kegelapan pikirannya sendiri, sesekali berusaha bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan yang menyeramkan itu.
Aku harus bangun! Ucapnya dalam hati. Kathline menahan napas lalu membuka kelopak matanya dalam gerakan begitu cepat. Seberkas cahaya terang membutakan pandangan, beberapa objek yang dikenalnya mulai terlihat cukup jelas. Dia telah terbangun dari tidurnya.
***
Kedua mata gadis itu menyipit, menghalau sinar mentari pagi yang terus menyorot wajahnya. Dia mengembuskan napas lega. Gadis itu mengangkat tubuh seraya mengatur napasnya yang agak terengah-engah, pandangannya teralihkan pada gadis berseragam rapi di dekatnya.
"Aku tadi mencoba parfum milikmu! Wangi sekali." Kathline mendengus, kemudian membalas perkataan gadis di sampingnya, "Baiklah."
Kathline memincingkan mata, melirik baju seragam gadis yang berkuncir kuda itu dari ujung kaki sampai ke kepala. "Mau kemana? Rapi sekali." Yang ditanyai mendesis kesal.
"Kakak macam apa kau? Aku bahkan sudah memberi tahu dirimu sejak dua minggu lalu." Kathline terkekeh seraya mengatur napasnya kembali.
Gadis yang lebih muda darinya itu lantas menatap Kathline heran, terutama sebagaimana cara mengatur napas kakaknya itu.
"Kenapa?" Kathline berujar setelah mengetahui gerak gerik aneh adiknya dalam menatap dirinya.
"Seharusnya aku yang bertanya!" ujarnya seraya menegakkan tubuh dan berkacak pinggang.
"Hanya bermimpi buruk." Kathline lalu bergeser ke tepian ranjang.
Sebenarnya, gadis remaja itu merasa terlalu lelah untuk berbicara. Dia tidak membayangkan akan merasa begitu penat meski telah tertidur selama beberapa jam. Rasa gembira karena berhasil terbangun dari mimpi buruknya itu seakan menghilang begitu cepat, menyisakan beban berat emosional tentang segala upaya yang telah dilaluinya semalam.
"Mana Ibu?" Kathline lalu berdiri dari posisinya. Yang ditanya lantas menjawab, "Di ruang tidurnya, menyiapkan perbekalan un--" Perkataan gadis itu terpotong, Kathline membiarkannya berlalu seraya melesat pergi meninggalkan adiknya sendirian.
"Ibu?!" Kathline memekik, jantungnya agak sedikit mencelus setelah menyadari bahwa suaranya agak lebih nyaring dari awal perkiraannya. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu pandangannya terhenti pada sosok paruh baya yang tengah duduk di tepi ranjang seraya menyusun baju ke dalam koper berukuran besar bewarna biru gelap.
Kathline memandangnya sejenak, lalu setelahnya, ia bergerak maju dengan banyak pertanyaan yang hinggap di kepalanya. Kathline melangkahkan kakinya, kian lama semakin cepat, hingga akhirnya dia sampai di ambang pintu ruang tidur tersebut. "Ini konyol!" Kathline memandang wanita paruh baya itu sekilas.
Persis setelah Kathline menggerutu, lamunan wanita paruh baya itu terpecahkan, dia menoleh ke arah gadis yang berkacak pinggang di dekatnya. "Oh, Kathline. Ada apa, Nak?" Wanita itu tersenyum, tampak bahwa senyuman yang diberikan kepadanya sepenuhnya tulus.
"Ibu, omong-omong, kenapa hari ini Stephany memakai seragam yang amat rapi? Ini hari Sabtu bukan?"
Setelah Kathline menyelesaikan kalimatnya, wanita paruh baya itu berdiri mendekatinya seraya mengulurkan salah satu tangannya, dia lantas mengacak-acak rambut anaknya itu seperti gadis balita. "Adikmu akan menjalani latihan dasar kepemimpinan siswa, Kath. Dilaksanakan di Bukit Pinus. Kamu tahu, ibu tidak bisa membiarkan adikmu itu berkeliaran ke sana kemari tanpa pengawasan sementara ibu hanya bisa menonton televisi seharian di rumah. Maka dari itu, seminggu sebelum pelaksanaan, ibu memilih untuk mengajukan diri agar ibu menjadi panitia pelaksana kegiatan ini demi menjaga adikmu itu. Kabar baiknya, ibu terpilih. Dan kabar buruknya, kamu akan sendirian di sini ... bersama ayah, selama satu minggu penuh."
Dunia seakan berhenti berputar dengan sendirinya ketika kata-kata tersebut berhasil diucapkan. Dalam benaknya, sosok seorang ayah adalah seorang pekerja keras bodoh yang menganggap bahwa pekerjaannya lebih penting daripada keluarga. Kathline tidak mengerti, tidak bisa membayangkan bagaimana hal itu akan terjadi. Tinggal bersama sosok ayah yang tidak turut peduli dalam segala hal. Namun, dia tahu betul, itu satu-satunya penjelasan ibu yang masuk akal dan bisa diterimanya. Ibu sangat menyayangi anak-anaknya.
"Lalu, bagaimana dengan uang saku? Bahan makanan? Tagihan lis--" Akan tetapi, sebelum gadis remaja itu menyelesaikan kalimatnya, wanita paru baya itu merogoh saku celananya dengan kasar, mengeluarkan sebuah amplop putih yang telah terlipat-lipat. "Tentang keuangan dan lain-lain, ibu dapat mempercayakannya padamu," tutur ibunya itu dengan nada yang begitu lembut. Wanita itu lantas meyerahkan amplop yang digenggamnya ke tangan anaknya.
Tanpa menunggu waktu yang lama, Kathline lantas menerima pemberian ibunya itu. Tak lupa memeluknya dengan sangat erat. Gadis itu tidak mengatakan apa-apa lagi, kepalanya penat, matanya menatap keramik-keramik persegi yang tersusun berwarna putih susu. Dia lelah, dan sepertinya dia harus membasuh tubuhnya secepat mungkin.[]
***
Hai, maaf ya kalo chapter kali ini itu dikit. Namanya juga baru perkenalan hehe. Dan aku sangat berterima kasih kepada kalian yang sudah membaca part kali ini. Kritik dan saran boleh kalian tulis di sini dengan catatan harus menggunakan bahasa yang sopan. Segitu aja, bye.
-Renaldi Manurung-
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Walker: The Battle of Hearts
FantasyGadis remaja itu pada akhirnya bermimpi cukup gila dan dia benar-benar tidak menyangka bahwa dirinya bisa saja mati di dalam mimpinya sendiri. Semakin lama, gadis itu semakin yakin bahwa semua mimpi buruknya akan menjadi ancaman baru baginya. Amazin...