Kathline membenci gagasan bahwa kenyataannya dia lebih buruk daripada seekor tikus; hanya dapat menangis dan terlihat lemah. Sementara itu, jeritan yang melengking nyaring tersebut masih terdengar dari segala penjuru kegelapan tak berujung seolah menyadarkan dirinya bahwa menangis bukanlah pilihan terbaik.
Selama beberapa detik, anak perempuan itu merasa dunia meremehkannya. Kegamangan berkali-kali melandanya, "Apa yang harus kulakukan?" Dia bertanya dalam hati, mencoba meredam tangisnya, walaupun dia tahu bahwa cara tersebut tidak akan membuahkan hasil.
Kegelapan tak berujung ternyata memberikan pemikiran cemerlang yang mendadak muncul di benaknya, memberinya harapan. Kathline berusaha tidak memikirkan apapun lagi. Dengan enggan, dia memaksa dirinya untuk berhenti dari tangisnya. Wajahnya kini terlihat kosong, dia terdiam, terlihat ragu-ragu untuk menunjukkannya di tengah teriakan yang tak kunjung mereda. Kathline melayangkan pandangan pada kegelapan yang tak berujung. Dia kemudian memaksakan dirinya untuk tersenyum, menenangkan hatinya dari segala kemungkinan terburuk. Kemudian, disaat-saat seperti ini adalah saat yang tepat untuk mengajukan salah satu dari jutaan kebohongan yang berputar di kepalanya.
"Aku tidak pernah takut oleh teriakan lemahmu itu!" Suaranya terdengar serak dan parau. Dari nada bicaranya dapat dipastikan bahwa dia sedang mencoba untuk tidak terlihat takut. Dia menelan ludah, menyadari bahwa suara-suara teriakan yang sedari tadi didengarnya kian lama kian mengeras dan meninggi, angin ribut tiba-tiba merambat ke seluruh kegelapan, mengibas baju dan rambutnya. Lalu ..., keheningan total menyergap tempat itu. Tidak ada suara sekecil apa pun seperti hilang ditelan bumi, begitu juga angin yang tadi menamparnya.
Kathline begitu terpana dalam sekejap. Butuh beberapa saat baginya untuk bereaksi. "Apa aku berhasil?" Dia terlihat canggung untuk sementara waktu di antara kebisuan yang pekat. Kathline sebenarnya ingin mengatakan sesuatu, dia baru saja hendak membuka mulut, tetapi dia langsung mengurungkan niatnya itu dengan cepat. Dia merasakan desiran angin lembut membelai beberapa helai rambutnya dengan halus.
Kathline bertanya-tanya tentang asal darimana angin itu datang sedari tadi, suara embusan angin samar-samar terdengar, tidak terlalu terasa, tetapi bisa dirasakannya. Kemudian, gelombang kabut putih muncul dari kejauhan-seperti gumpalan awan yang berusaha menyelimuti dirinya, mengelilinginya dalam rotasi yang sama membentuk suatu lingkaran. Lalu, dia merasakan kembali angin kencang memasuki lingkaran kabut itu, menyibak rambutnya seolah bendera yang tercabik-cabik angin ribut. Kabut di sekelilingnya menjadi pusaran angin putih, mengurungnya dan mulai bergerak dengan arah rotasi yang sama. Benda itu telah menelannya, kini dia hanya bisa melihat warna putih di mana-mana. Semua perasaan mulai bercampur aduk dalam pikirannya, sudut matanya tiba-tiba menangkap sinar di antara celah kabut tersebut, samar dan tidak terlalu terang. Selama beberapa saat, dia merasakan butir-butir keringat yang sedari tadi membasahi sekujur tubuhnya kian lama kian menghilang, dia hendak menutup mata ketika kabut di sekelilingnya tiba-tiba membaur di udara kemudian menghilang. Kini Kathline dapat melihat pemandangan yang berada di sekitarnya dengan sangat jelas.
Kening gadis itu mengkerut, dia merasa aneh untuk menyadari bahwa dia sedang terbaring di antara kerapatan rumput setinggi pinggang orang dewasa. Kathline kemudian tersenyum, dia merasakan bahwa tubuhnya tampak dapat begerak dengan bebas, mengingat sebegitu sengsaranya dia ketika berada di dalam kegelapan yang tak berujung, disertai dengan perasaan terikat dan tidak dapat menggeliat sedikitpun.
Dalam sekali hitungan, dia mencoba bangkit berdiri dari posisinya, salah satu tangannya mencoba menopang tubuhnya dengan cara menjejalkannya ke tanah, kemudian, dilakukan sedikit dorongan, agar dia dapat menyeimbangkan tubuhnya.
Kathline tersentak ketika menyadari bahwa pemandangan di sekelilingnya adalah jajaran kartu remi yang berukuran dua ratus kali lipat dari biasanya, tersebar acak di segala penjuru. Sorot matanya berpaling, melihat sebuah kotak perak besar yang berada jauh di depannya. Kira-kira dua kilometer jauhnya. Rasa ingin tahu sontak mulai menyelimuti kepalanya, seolah mengambil alih pada setiap sendi yang berada di semua lekuk tubuhnya. Dia berjalan membelah kerapatan rumput dan ilalang ditemani sorot mata yang tidak bisa berpaling pada kotak besar nan jauh di depannya.
Sepasang kaki itu kian berpacu di tanah kering, menghasilkan suara gesekan rumput yang terdengar berirama, menghiasi kebisuan di antara gelapnya malam yang hanya disinari rembulan dan bintang. Dia tidak pernah memperhatikan keadaan di sekitarnya, hingga pada langkah berikutnya, dia tersandung oleh suatu benda, terjatuh dalam gerakan mendadak dan terpelanting ke depan, bertumpu pada kedua telapak tangan dan lututnya. Tetesan keringat tiba-tiba mengalir di dahinya ketika menyadari bahwa benda yang membuatnya terjungkal ialah sebuah tangan dewasa dari seseorang yang tergeletak tak berdaya di antara rerumputan di sekitarnya.
Kathline memandang wajahnya sekilas. Dia seorang laki-laki berambut cokelat gelap agak berantakan yang mungkin sengaja dibuat untuk mempertampan parasnya. Kathline merangkak ke sosok itu, dia mengambil tangan kiri pria itu untuk mendeteksi keberadaan denyut jantung melalui nadinya.
Seketika itu juga Kathline terhuyung mundur, terkejut melihat sosok di depannya membuka kelopak mata lalu terduduk dalam gerakan begitu cepat. Awalnya kelegaan segera membanjiri dirinya, hingga akhirnya, semua berubah ketika lelaki itu menyodorkan sebuah mata pisau ke arah wajahnya, cukup membuat kedua matanya terbelalak.
Hal pertama yang mampu membuat gadis itu terkejut adalah ... darimana pisau tersebut ada di genggamannya dalam sekali kedipan mata. Kathline benar-benar yakin bahwa kedua telapak tangan milik pria itu tadinya kosong, hanya menyentuh udara yang terasa dingin dan mengiris kulit.
"Katakan padaku siapa dirimu! Iblis sialan itu atau orang malang sepertiku?!" Pikiran Kathline dirajam rasa bingung, tidak tahu harus bagaimana untuk menanggapi pertanyaan semacam itu--lebih mirip ancaman sebenarnya. Namun, mungkin hidupnya masuk ke kategori "orang malang" jika ia harus tinggal bersama ayahnya.
"Apa maksudmu? Aku bahkan baru melewati fase kelumpuhan tidur sebelum aku berada di sini, di tempat ini. Jadi tolong, jangan menuduhku macam-macam. Aku sudah muak dengan segala peristiwa aneh yang telah terjadi belakangan hari ini, dan kau malah mengajukan pertanyaan aneh itu. Kalau bisa memilih, aku adalah orang yang sangat malang, bung!" Kathline kemudian menarik napas panjang, mencoba agar dirinya tidak meledak. "Oh ya, bisa kau turunkan tangan kotormu itu dari wajahku?" Lelaki itu seperti mendapat tamparan keras di wajahnya. Ia sekarang merasa seperti pecundang.
Dia menundukkan kepalanya seraya menurunkan pisau logam yang sedari tadi berada di genggamannya. Kathline semakin tidak mengerti, pisau tersebut entah apa penyebabnya telah berubah menjadi sekelebat asap tipis yang mulai menyatu dengan udara.
Anak laki-laki itu kemudian mengangkat kembali wajahnya, dia menarik napas panjang. "Tentu saja ini mimpi, semua hal bahkan bisa kau lakukan dengan pikiranmu saja. Namaku Tommy Hans, kau dapat memanggilku 'Tom'. Agak terasa aneh bagiku untuk berkenalan di sini." Lelaki itu tampak sedikit tersenyum.
"Kathline Geraldine, kau dapat memanggilku 'Kath'." Kathline lalu mengulurkan salah satu tangan kanannya, mereka lalu bertukar pandang, kemudian saling berjabat di tengah perasaan canggung yang melanda keduanya.
"Sepertinya kau harus lebih banyak belajar, Kath." Lelaki itu kemudian melepaskan tangan kanannya yang sedari tadi berjabat tangan dengan Kathline. "Maaf jika perbuatanku tadi hampir membuatmu berpikir bahwa aku agak gila. Namun kau harus tahu, di tempat ini berbahaya, kau harus mengetahui bahaya apa yang sedang mengintai." Lelaki itu kemudian mengalihkan pandangannya ke atas, ke langit suram berwarna biru gelap. "Oke, sebelum memulai dari awal, aku ingin bertanya kepadamu. Apa kau percaya sihir?" Kathline menyimak setiap kata bahkan intonasi yang keluar dari mulut pria itu. Keningnya tanpa diminta agak sedikit mengkerut, lalu dia berkata sedemikian, "Ya, sedikit." Terlintas di benaknya bahwa percakapan seru mungkin akan dimulai tepat saat dia menyelesaikan kalimatnya.[]
***
Hai, kalian sudah sampai di akhir part kali ini😊. Kalau boleh jujur, aku sangat kewalahan untuk menulis cerita ini😥. Jadi, tolong hargai usahaku dengan cara memberikan vote ataupun comment di cerita ini. Karena, segala bentuk komentar apapun sangat aku hargai😀.
-Renaldi Manurung-
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Walker: The Battle of Hearts
FantasyGadis remaja itu pada akhirnya bermimpi cukup gila dan dia benar-benar tidak menyangka bahwa dirinya bisa saja mati di dalam mimpinya sendiri. Semakin lama, gadis itu semakin yakin bahwa semua mimpi buruknya akan menjadi ancaman baru baginya. Amazin...