Keping 1 - Pengecut Kuadrat

6.7K 820 129
                                    

Ada yang nungguin cerita ini, nggak?

***


Farrel Alterio: Pulang jam 12, kan? Makan yuk, Bu

Lilian Batrisya: Kamu pulang emang?

Hari ini Sabtu. Farrel, biasanya—nggak pasti juga sebenarnya—pulang ke rumah karena sekolahnya hanya Senin sampai Jumat. Beda denganku yang liburnya cuma Minggu. Farrel sekolah di luar kota dan sekolahnya sudah menerapkan sistem full day. Jadinya ya cuma libur kesempatan kami bertemu.

Farrel Alterio: Semalem pulang

Lilian Batrisya: Ya udah ayo. Mau pergi bareng? Apa ketemu aja di Chiks?

Farrel Alterio: Bareng. Tungguin depan sekolah ya, Bu

Lilian Batrisya: Sipp. Jangan lama-lama ya.

Nggak ada balasan. Chat-ku cuma di read saja. Kebiasaan memang itu anak.

"Ibu...."

Aku mendongak, menatap dua siswi yang menunggu responsku. "Kenapa?"

"Tugasnya taruh di mana?"

"Di situ aja." Aku menunjuk space kosong di mejaku. "Makasih ya. Besok pas bel istirahat diambil ya bukunya."

"Oke, Bu."

Lima menit lagi bel pulang sekolah berbunyi. Aku langsung merapikan meja kerjaku. Memasukkan laptop beserta charger-nya ke tas ransel yang setiap hari kubawa. Lalu, mengecek ponsel. Nggak ada tanda-tanda Farrel bakal nge-chat.

Begitu bel berbunyi, aku bergegas menuju parkiran. Aku mau pulang dulu, ganti baju. Nggak bakalan deh aku ketemu Farrel pas masih pakai seragam kerja. Ya, kecuali kepepet. Misalnya, dia lagi main ke sekolah.

Beruntungnya, pas aku sampai di rumah, Mama nggak ada. Jadi nggak ada yang akan tanya aku mau pergi ke mana buru-buru kayak gini. Habis ganti baju dan touch up, aku balik ke sekolah.

Lima menit. Sepuluh menit. Aku yang tadinya menunggu di parkiran, memutuskan masuk ke ruang guru. Nyebelin ah si Farrel. Kalau janjian pasti terlambat. Dia pikir menunggu itu enak apa ya?

Menunggu itu melelahkan.

Habis mengetik kalimat itu, aku memostingnya di story Instagramku. Aku tahu Farrel nanti bakal baca. Sengaja memang, biar dia sadar kalau aku kesal.

Farrel Artelio: Aku udah di depan

Sudah sampai saja dia. Baru juga dipikirkan. Aku melangkahkan kaki ke parkiran. Sosok lelaki memakai jaket hitam dan celana pendek selutut tampak duduk di atas motor begitu aku melongok ke seberang jalan. Aku menyalakan motor lalu membawanya menuju Farrel.

Tidak ada sapaan 'hai' atau kata maaf yang Farrel ucapkan. Dia langsung menjalankan motornya, lalu aku mengikuti di belakang. Aku cuma bisa menghela napas. Kesal. Banget.

***

"Mau pesen apa?" tanyaku begitu kami berada di depan counter pemesanan.

Aku memperhatikan Farrel, dia sedang melihat menu. "Paket dua aja," putusnya, menyebut pada pramusaji.

"Paket duanya, satu?" ulang Mbak di counter pemesanan.

"Dua, Mbak," protesku. Memangnya si Mbak nggak lihat apa di sebelah Farrel ada aku? Ya kali, Farrel saja yang butuh makan. Aku kan juga lapar.

"Ada lagi?"

"Mau nambah apa?" Aku melirik Farrel. "Itu aja, Mbak," sebutku setelah Farrel menggelengkan kepalanya.

Predestinasi (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang