Keping 3 - Soal Nasionalisme yang Mulai Terkikis

13.1K 1.3K 100
                                    

Ada yang baca?


****


"Amanat pembina upacara."

"Istirahat di tempaaaat graaaak."

Upacara bendera.

Aku lagi mengingat-ingat kapan terakhir kali ikut kegiatan upacara dengan memakai seragam sekolah. Lima tahun lalu? Apa malah enam tahun lalu ya? Lupa deh. Tapi... enam tahun lalu kayaknya. Enam tahun lalu aku lulus dari Sekolah Menengah Atas alias SMA, lalu kuliah, dan nggak ada upacara pas kuliah. Bayangkan coba kalau ada upacara, pasti universitas nggak bakal bisa menampung para mahasiswa.

By the way, zaman sekolah dulu, upacara bendera hari Senin adalah kegiatan yang banyak membuat peserta didik sebal, apalagi kalau pembina upacaranya lama sekali memberikan amanat. Rasanya tuh kaki terasa mau copot karena terlalu lama berdiri.

Sekarang aku juga sebal, tapi sebalnya karena melihat para remaja berseragam putih biru yang berdiri dua meter dari aku lagi mengobrol dengan teman terdekat tanpa memedulikan pembina ucapara yang sedang 'ceramah' di mimbarnya. Aku sebalnya sejak tadi sih sebenarnya, pas harusnya sikap tegak, mereka malah goyang-goyang badan.

Dulu, maksudku waktu masih jadi anak sekolah, aku jarang mengobrol dengan teman saat upacara berlangsung. Aku sadar, upacara merupakan salah satu cara untuk menghargai para pahlawan yang telah berjuang membela Indonesia. Jadi, berdiri selama kurang lebih empat puluh menit itu, nggak akan sebanding dengan perjuangan para pahlawan.

Posisi berdiriku yang kebetulan berada di barisan depan, membuat aku dengan mudah memelototi siswa yang asyik bercanda dengan temannya. siswa yang peka, langsung tertib, nggak lagi bercanda dengan temannya. Tapi... yang cueknya minta ampun, tetap saja meneruskan perbuatan tidak terpujinya itu.

Di belakangku, para rekan sejawatku juga ada yang lagi mengobrol juga. Siswa mengobrol, guru pun mengobrol. Ini yang salah sebenarnya siapa? Mau bilang wajar siswanya begitu karena meniru gurunya? Aku sih nggak terima ya. Masih banyak yang lagi diam dan fokus mendengar amanat pembina upacara kok.

Oke, harus aku akui, amanatnya terlalu lama. Aku saja yang berdiri dengan kaki mengenakan sepatu hitam berhak tujuh sentimeter, sudah ingin melempar sepatu itu jauh-jauh. Kakiku kesemutan dan pegal luar biasa. Tolong, siapa pun ingatkan aku buat nggak memakai sepatu ini lagi di Senin berikutnya. Aku kapok.

Balik lagi soal tertib saat upacara berlangsung. Harusnya sih kesadaran masing-masing ya. Cuma, adakalanya kesadaran itu tadi, dipinjam pasien rumah sakit. Makanya pada semena-mena.

"Menyanyikan lagu nasional Padamu Negeri."

Aku mendesah lega, akhirnya selesai juga amanat pembina upacara. Sebentar lagi upacara bendera akan berakhir. Senangnya dalam hati. Astaga, kenapa jadi nyanyi lagunya Om Dhani sih?

"Padamu negeri kami berjanji. Padamu negeri kami mengabdi."

Eh, mengabdi?

Aku melirik ke arah kelompok paduan suara. Terlihat beberapa dari mereka saling sikut. Sudah pasti karena kesalahan tadi. Jelas-jelas lirik yang kedua itu, berbakti. Dasar anak sekarang, lebih hafal lagu berbahasa asing daripada lagu nasional sendiri. Kejadian ini bisa diartikan sebagai berkurangnya rasa nasionalisme nggak sih?

"Bagimu negeri, jiwa raga kami."

"Upacara selesai, barisan dibubarkan."

Begitu barisan dibubarkan, aku mengambil langkah seribu. Aku butuh air. Air... mana aiiirr???

Predestinasi (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang