Part kemaren banyak yang protes soal typo. Mungkin karena semangat posting, jadi banyak yang terlewatkan saat disunting ala kadarnya. Semoga bagian yang ini lebih menyenangkan untuk dibaca. Meskipun sedikit khawatir, karena karakter utama dalam cerita ini lumayan berbeda dengan cerita-cerita yang sebelumnya. Bagi pendapat dong, supaya aku tahu apa yang pembaca pikirkan soal Sita. Selamat membaca... :)
**
Sudah siang ketika aku kembali ke kantor setelah bertemu dengan tim produksi yang menindaklanjuti pekerjaan kreatif timku. Pertemuannya diadakan di lokasi syuting mereka sehingga aku lumayan banyak menghabiskan waktu di jalan.
Sandro merebut gelas kertas kopi di tanganku. Menyesap isinya tanpa minta izin. Apa yang kuharapkan? Sopan-santun di divisiku lebih mirip keset. Selalu di bawah telapak kaki.
"Kok pada ngumpul?" aku menarik kursi dan duduk di kubikelku. "Lo pada mogok kerja karena Pak Freddy udah nggak ada?" Pak Freddy secara resmi sudah berhenti kemarin. Sayang sekali, bokongnya sudah tidak bisa memperbaiki mood-ku saat jelek nanti.
"Penggantinya udah dateng," sambar Raisa. Ya, namanya sama denga Raisa penyanyi itu. Sama-sama cantik juga. Nasib mereka yang bak bumi dan langit. Raisa yang artis mendapatkan uang dengan mudah, hanya perlu membuka mulut dan menggetarkan pita suara. Sedangkan Raisa yang ini memperoleh gaji dengan menebalkan telinga mendengar teriakan dan omelan kami, seniornya.
Sandro mendengus. "Gue kok ngerasa kalo Bos yang ini sombong, ya? Pak Freddy keras, tapi dia lumayan."
Aku memutar bola mata. Untuk menilai seseorang sombong atau tidak, kita harus mengenalnya lebih dulu. Hanya ada satu penjelasan masuk akal untuk opini dadakan Sandro. Aku menoleh pada Raisa. "Dia setampan itu?" Sandro gampang terintimidasi wajah tampan. Bisa mempersempit wilayah penaklukan. Wajah tampan berarti saingan baru. Terlalu banyak Singa jantan bangsawan di satu hutan tidak terlalu baik untuk nasib kekuasaan. Bisa dikudeta setiap saat. Suksesi tak pernah mudah.
Raisa langsung mengangguk cepat tanpa berpikir. Matanya berbinar seperti bohlam 100 watt di malam gelap. "Sangat! Kalo lo berpikir Pak Freddy tampan, lo harus ngerevisi pendapat lo sekarang." Raisa tersenyum genit. "Dengan bos setampan itu, kinerja gue bakal membaik drastis."
Aku terkekeh. Standar Raisa untuk ketampanan seorang pria tidak bisa diandalkan. Ibaratnya, dia jenis orang yang tidak bisa membedakan mutiara asli dan imitasi. Semua plastik yang dicat putih gading dan berbentuk bulat kecil, setelah dironce disebutnya mutiara. Dia terkagum-kagum pada Pak Freddy, tapi si Ujang, OB yang belum kenal teknologi deodoran itu juga membuatnya meneteskan liur.
Aku menepuk lengan Putra. "Bos baru beneran secakep itu?" Pendapat Putra jauh lebih obyektif.
Putra pura-pura menguap. "Bokongnya pasti bisa memuaskan fantasi lo. Gue juga pengin punya bokong seperti itu."
Raisa cemberut. "Sita nanyain wajah bukan bokong."
"Sita lebih sering melotot pada bokong Pak Freddy timbang melihat wajahnya," sanggah Putra sambil melihatku. "Lo punya sindrom bokong lovers atau apa gitu? Fantasi seksual lo tentang bokong pasti extraordinary banget."
Aku tiba-tiba teringat pria tampan yang kutemui saat terjebak di lift minggu lalu. "Gue nggak yakin bokongnya lebih seksi daripada si Tuan Lift Mati." Semua temanku sudah kuceritakan tentang peristiwa itu. Kecuali bagian tentang kekhawatiranku mati sebagai perawan. Mulutku terkenal sebagai comberan. Dengan semua topik percakapan yang kuangkat, tidak akan ada yang percaya hymen-ku masih utuh. Dan kurasa itu bukan hal yang perlu diumumkan dengan suara lantang. "Itu bokong terseksi yang pernah gue lihat dengan mata kepala sendiri. Abaikan David G dan Jamie Dornan. Photoshop bisa aja udah mempercantik bokong mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirt On My Boots (TERBIT)
ChickLit(TERBIT) Ada pria tampan yang hanya bisa dilihat dan dikagumi, karena berusaha mendekatinya hanya memberi sakit hati. Pria yang menganggap wanita hanya sarana mendapatkan kepuasan dan mengosongkan kantong testis. Dan bosku termasuk salah seorang d...