ENAM

67.8K 6.4K 517
                                    

Hai, ini update-an yang kutulis buru-buru untuk bayar utang pada anggota grup karena Ijah memenangkan taruhan. Maafkeun kalo kesan buru-burunya berasa banget. Lo nggak punya cucian atau setrikaan yang belum kelar gitu, Jah? Sampe niat banget ngubek-ngubek sosmedku? Oh ya, aku juga mengganti sebutan "áku" Fendy aka Andra menjadi "saya" karena ada yang protes dan tidak nyaman membacanya, karena situasinya di kantor, dan hubungan mereka belum dekat. Untuk semua masukannya, terima kasih.

**


Aku bukan orang yang gampang takut atau terintimidasi sama orang. Seisi kantor tahu, kecuali Pak Andra, karena dia orang baru. Tetapi meskipun tertangkap basah menggosipkannya tidak membuatku gemetar ketakutan, rasa tidak enak itu tetap saja ada. Rasa yang coba kusembunyikan di balik topeng muka polosku saat mengetuk pintu ruangannya.

"Masuk!" nada yang tidak bisa dibilang ramah menyapaku.

Yeah, apa yang kuharapkan? Dia memberiku jamuan teh dengan muffin hangat ala Inggris setelah kejadian hari ini? Aku menarik napas panjang sebelum menguakkan pintu dan masuk.

Kepala Pak Andra masih menekuri laptop. Ragu-ragu aku mendekat. Aku sudah tahu apa yang akan kulakukan. Aku akan mendengarnya mengomel dan menumpahkan kemarahan. Setelah semburan emosinya surut, aku akan minta maaf. Ini tidak akan terlalu sulit.

Sial. Pak Andra rupanya ingin bermain perang urat syaraf denganku. Sudah hampir tiga menit aku berdiri di depan mejanya, tapi dia belum mengangkat kepala sama sekali. Apa sih yang menarik di layar laptopnya? Gambar dada melon tanpa penutup apa pun?

"Bapak memanggil saya?" Aku menyerah dan membuka suara terlebih dulu. Suara yang kubuat manis, padahal aku sudah mulai mendongkol. Aku tahu dia sedang membalasku.

"Hmm..." kepalanya tidak terangkat juga.

Iihh, ada ya orang yang menyebalkan seperti ini? Raisa benar, Pak Andra seperti orang nanggung saat digerebek hansip. Kalau pakai istilah Putra, Big O-nya pasti kurang nancap. Jangan-jangan servis Mbak Sandra dengan melon-melonnya tidak memuaskan.

"Bapak keliahatannya sibuk," kataku lagi, menyindir. "Bapak mau saya kembali lagi nanti?"

Kali ini tembakanku berhasil. Pak Andra mendongak. Pandangannya jelas menunjukkan rasa kesal. Aku tidak menyalahkannya.

"Duduk!" suaranya tegas saat menunjuk kursi di depannya.

Aku menurut. Duduk sopan dengan muka polos, seolah kejadian yang membuatku harus berada di ruangan ini sama sekali tidak pernah terjadi.

"Kamu pasti tahu kesalahanmu, kan?" Suara serak Pak Andra bahkan masih terdengar seksi saat marah.

Aku pura-pura berpikir saat menyadari tatapan tajamnya seperti berusaha mengulitiku hidup-hidup. "Kesalahan yang mana ya, Pak?" Rencana B soal presentasi, ketahuan berbohong soal telepon imajinasi, atau menggosipkan kehidupan seksualnya? "Memangnya saya salah apa?" Suara tanpa dosaku meluncur lancar. Kapan-kapan, aku sepertinya harus ikut audisi untuk menjadi pemain sinetron. Berakting sepertinya tidak terlalu sulit. Aku mungkin tidak akan kebagian peran utama sebagai anak SMA yang berdandan menor dengan rok seragam yang hanya menutup bokong, dan menjalin hubungan dengan teman sekelas yang merupakan turunan werewolf, tapi aku pasti bisa mendapatkan salah satu peran remeh yang tidak memerlukan kecantikan memukau. Peran yang murni kudapatkan karena kemampuan akting.

"Jangan pura-pura bodoh,"sentak Pak Andra. "Saya bukan Mas Freddy yang gampang kamu bohongi!"

Eh busyet, dia tahu aku berakting. Baiklah, mungkin aku tidak perlu ikut audisi sinetron apa pun. "Maksud Bapak?" kepalang basah, aku memutuskan tetap memasang muka polos.

Dirt On My Boots (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang