Semifinal - Penari Balerina

204 34 1
                                    

Kakak!!" Suara itu berseru memanggilku.

Aku menoleh pada gadis kecil yang menyapaku. "Iya?"

"Kakak, penari ballerina yang hebat!" katanya.

"Terima kasih, Adik Kecil." Aku baru saja selesai menari di depan banyak sekali orang.

Dia tersenyum riang saat tanganku menyentuh puncak kepalanya. "Aku mau jadi kayak Kakak!" ujarnya.

Aku terkekeh. "Jangan jadi kayak Kakak."

Dia memiringkan kepalanya. "Kenapa?"

"Karena ...," terlalu mahir dalam satu hal tidak baik, "kamu harus lebih hebat dari Kakak!"

Dia mengangguk dan segera tertawa riang. "Dadaah, Kakak!!!"

Aku melambaikan tangan padanya yang mulai berlari kecil. Senyumanku terlukis.

Ruang tari ini kosong. Para penonton telah pergi saat tarianku usai. Aku meletakan kelima jemariku pada dinding di hadapanku. Membiarkannya mengenaliku.

Pip.

Dinding di hadapanku terbuka. Kakiku menyusuri lorong panjang dingin yang penuh keamanan berteknologi pada tiap sisi. Aku tidak mau bisa menari untuk hal seperti ini. Aku hanya seorang gadis normal yang suka menari.

***

"Bravo, Nala!" ujar bapak tua itu beberapa waktu lalu saat aku sedang berlatih.

Aku segera menunduk hormat padanya. "Pak Walikota."

Dia tersenyum, mengusap puncak kepalaku lembut. "Kau penari terbaik di kota ini, bukan?"

Tanpa mengangkat kepala, aku mengangguk.

Dapat kurasakan bahwa senyumannya semakin melebar. "Kalau begitu, maukah kau menari untuk aku yang tua ini?"

Bibirku kelu beberapa saat. Perasaanku tak enak. Namun dengan bodohnya aku melontar kalimat, "Bersedia, Pak Walikota."

***

Aku benci peristiwa yang terlintas di kepalaku barusan. Sangat benci.

Kakiku terus melangkah. Lantai yang kupijak memancarkan garis biru bercahaya, berusaha terus mengenaliku dan memastikan segalanya aman. Sistemnya seperti fingerprint beberapa tahun silam. Hanya saja lebih canggih.

Aku kembali menyentuh dinding dihadapanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku kembali menyentuh dinding dihadapanku. Tak lama, dinding itu terbuka menampilkan wajah tua yang masih berwibawa untuk menjalankan pemerintahan.

"Maaf, saya terlambat," ujarku formal.

Dia tertawa. "Tak apa, Nala. Kau penari terbaiku, aku tidak akan memarahimu."

Aku tidak bahagia sama sekali dibilang begitu.

Aku merendahkan tubuhku, perlahan sebuah kursi tanam muncul dari tanah menopang tubuhku. Aku mulai melepas sepatu ballerina. Kembali meraih alat berteknologi canggih berupa sepatu pemberiannya yang enggan aku kenakan.

NPC Tournament 2017 - The Fantastic FourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang