Semifinal - Lapse

276 34 2
                                    

Semilir angin menyusuri retak malam, membawa dingin yang merasuk hingga tulang. Semilir angin menari, berlalu tanpa salam, menyisa sepi dalam kelam.

Aku menunggunya.

Seseorang yang bahkan tak kutahu namanya. Dia yang berasal dari dunia di luar sana, sosok yang kuanggap berharga, bahkan lebih dari sebuah nyawa.

Aku menunggunya.

Dalam 'penjara' tempat kami berjanji untuk bertemu. Aku menanti dalam jemu, meski sadar benar bahwa keberadaanku hanyalah sesuatu yang semu.

Aku masih menunggunya.

Di bawah langit-langit yang tak berwarna lagi, berikut nyanyian hati yang selaras dengan elegi, lantunan sendu yang disuarakan lewat sebaris syair rindu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di bawah langit-langit yang tak berwarna lagi, berikut nyanyian hati yang selaras dengan elegi, lantunan sendu yang disuarakan lewat sebaris syair rindu.

Satu, dua....

Entah bodoh atau apa, aku hanya duduk dan diam, memandang dalam tatapan hampa.

Tiga, empat....

Setitik rasa cemas menyentil anganku, menyadari waktu yang telah kami sepakati dalam periode yang berulang kali, kini telah terlewati. Sampai kemudian sebuah suara yang kukenali, menyapa indera pendengarku dengan alunan yang terdengar sesejuk embun pagi.

Baik, itu konyol. Sesungguhnya bersikap puitis seperti ini sungguh bukan gayaku sekali.

Namun, apakah salah? Setidaknya hal itu mampu mengusir sepi.

"Dua menit empat puluh sembilan detik. Kau terlambat!"

Kulihat seulas senyum meringis tergaris di bibirnya. Sepasang obsidian sekelam langit malam menatapku dalam tatapan yang bercampur antara risih dan rasa bersalah.

"Haruskah kau menghitungnya?" ringisnya pelan.

"Kau tidak pernah terlambat biasanya. Apakah terjadi sesuatu?"

"Ayolah, aku hanya terlambat beberapa menit, 'kan?" sahutnya lagi.

Dia tidak tahu.

Betapa 'beberapa menit'-nya itu adalah seluruh hidupku.

Dia tidak tahu.

Bagaimana aku berusaha mengusir jemu yang kian lama semakin menghantuiku.

Dia takkan pernah tahu.

Bahwa di sini, aku menunggunya dengan seluruh hidupku. Menghitung detik demi detik hingga tiba saat kami untuk bertemu, saat yang dipisah oleh sebuah selang waktu. Dalam ruangan ini, dalam 'duniaku' yang sempit ini, orang ini adalah seluruh hidupku.

"Sudahlah, langsung mulai saja ya? Kan aku sudah datang?" pungkasnya, dan aku memilih menurut.

Ia melempar sepasang sepatu ke pangkuanku, tepat ketika aku hendak berdiri. Sejenak, aku menatap sepatu itu dan dirinya bergantian, membuatnya menyunggingkan tawa kecil.

NPC Tournament 2017 - The Fantastic FourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang