3

68 10 7
                                    

" Kamu enggak sama Kartika? " tanya wanita paruh baya itu.

" Enggak, ma. Kartika ga bawa mobil hari ini. " jawab Dandel sambil mengunyah rotinya.

" Jadi kamu ke sekolah sama siapa? "

" Naik angkot kayaknya. "acuh Dandel sambil membawa piring kotor ke dapur.

" Gak, gak boleh. Kalau kamu ada apa-apa nanti gimana? Siapa yang nolongin kamu? "

" Ma, please. Dandel bukan anak kecil lagi. Dandel bisa kok ngelindungin diri sendiri. " sanggah Dandel sambil mengambil tasnya.

" Tetap gak boleh. Biar mama nelpon papamu du- "

" Ma, sekali ini aja dengerin Dandel. Dandel bukan anak kecil lagi! Mama sendiri tau kalau nelpon papa bukan ide yang bagus. Lebih baik Dandel naik angkot daripada dengerin mama sama papa ribut cuma karena masalah kecil! " jelas Dandel sambil terengah-engah.

Untuk kali ini, Mamanya memilih diam mendengar Dandel. Entah karena apa, tapi ini hal yang bagus.

" Maaf udah nyinggung ma. Dandel deluan ya " ucap Dandel sambil mencium pipi mamanya yang masih mematung.

Dandel berlari keluar dari pekarangan rumahnya dengan dadanya yang hampir meledak. Kejadian tadi membuatnya benar benar emosi. Semua yang menyangkut tentang papanya, membuatnya emosi. Hampir saja tadi air matanya menetes.

Dandel celingak-celinguk mencari ojek ataupun angkot, padahal dia tahu usahanya sia sia.
Dandel berjongkok di depan rumahnya, lalu menelungkupkan wajahnya di antara kedua tangannya. Kejadian tadi benar benar membuat moodnya hancur.
Andai saja ada pangeran berkuda putih yang berbaik hati mengantarkannya ke sekolah. Andai.

Tin tin

" Woi, lagi boker lo ya? "

***

" Gera, sebelum ke sekolah beli roti dulu ya. "

" Buat apa ma? " ucap Gera sambil memasang dasinya.

" Udah kamu beli aja " ujar mamanya sambil memberikan sejumlah uang kepada Gera.

" Kenapa ga pas pulang aja sih ma? "

" Kamu kan pelupa. Jangan kira mama lupa sama tabiat kamu itu. Udah sana cepetan, nanti kamu telat lagi. " ujar mamanya sambil menepuk pundak Gera.

" Yaudah, Gera deluan ya ma! "

" Iya, hati-hati ya. Jangan ngebut. Pakai helmnya bener bener. Bawa SIM kan? Jangan sampai lu- "

" Iya ma iya, bawa semua kok. Bye ma! " Gera mencium pipi mamanya, lalu pergi secepat mungkin dari pandangan mamanya.

" Beli rotinya di toko biasa Mama beli ya! " Teriak Mama Gera saat tahu anaknya sudah jauh dari pandangannya.


***

" Woi, lagi boker lo ya? "

Dandel mengangkat kepalanya, lalu celingak celinguk mencari asal suara itu.

" Setan kali ya? Tapi masa setan nanyain boker? " gumam Dandel menelungkupkan kepalanya kembali.

" Gue di depan lo pe'a " suara yang sama membuat Dandel tersentak, lalu mengadahkan wajahnya ke depan.
Yang dilihatnya pertama kali adalah cowok yang menggunakan seragam yang sama dengannya. Sayangnya dia pakai helm, jadi ga bisa liat mukanya deh.

" Siapa ya? " Dandel berdiri, lalu membersihkan roknya di bagian belakang. Sekali lagi ia melihat ke orang itu. Dengan mogenya yang setia mendampingi, ia berlagak seakan dia adalah orang paling keren sedunia.

Mimi peri lebih keren dari lo, plis. Rutuk Dandel dalam hati.

" Lo satu sekolah sama gue kan? Ga sekolah? "

" Ga ada yang nganterin. Lo sendiri? " Dandel mengambil karet rambut dari tasnya, lalu menguncir kuda rambutnya.

" Gue disuruh beli sesuatu. Kebetulan tempatnya di samping rumah lo. " ucap orang itu masih dengan helm yang bertengger di kepala.
" Mau bareng? " lanjutnya.

Eh?

Kadang kita merasa pangeran berkuda putih itu hanya khayalan. Imajinasi semata. Tapi nyatanya, sesuatu yang kita anggap imajinasi perlahan datang tanpa kita sadari. Walaupun wujudnya tidak benar-benar mirip pangeran berkuda putih sih.

" Btw lo gak punya kepala? Dari tadi pake helm mulu. Gak usah malu kalau lo emang ga punya kepala, gue nerima orang apa adanya kok. "
Dan Dandel tetaplah Dandel.

***

" Jadi, jelasin ke gue. Kenapa lo bisa tiba-tiba bareng sama cowo? Dia siapa lo? Namanya siapa? Kelas berapa? Apa perlu gue- "
Oke. Kartika sama saja dengan ibunya dirumah. Sama sama cerewet.

" Kar! Sumpah lo mirip banget sama mama gue. Sama-sama cerewet! " potong Dandel.

Ya salahnya juga sih, tidak memberitahu cowok itu untuk berhenti di luar gerbang. Pikirannya saat itu benar-benar kacau, sama sekali tidak bisa berpikir jernih.

Tadi, tepat setelah sampai di halaman sekolah. Lagi-lagi Dandel menjadi pusat perhatian. Tapi bedanya dia bersama cowok, bukan bersama Kartika.
Mereka menatap Dandel seperti ' Wih, laku juga si Dandel '. Dan itu membuatnya gerah setengah mati. Bukannya dia tidak laku, dia hanya... Tidak ingin pacaran.

Dan sialnya juga, Kartika baru saja datang dengan sopir pribadinya. Apa tidak ada yang lebih sial dari yang ini?

" Weh. Ngelamun aja kerjaan lo. Kerasukan baru tau rasa. " tepukan Kartika di bahunya menyadarkannya kembali ke alam sadar.

Dandel terdiam sesaat. Meraup kembali kesadarannya yang sempat hilang tadi." Ya pokoknya nanti lah gue cerita ya. Asal bukan sekarang. Ga mood gue, apalagi abis liat muka lo. Hancur abis. " Dandel mengibaskan tangannya di udara. Memberi kode untuk menanggapi masalah ini dengan santai. Padahal dirinya sendiri belum bisa santai.

" Awas lo ya. Kualat, tau rasa. " ucap Kartika sambil lalu meninggalkan Dandel di kelas.

" Yah? Ngambek nih? " Dandel tertawa tatkala tau kawannya sedang merajuk karena dirinya. Tapi seperti ada sentakan, Dandel terdiam. Mengingat bagaimana jika Kartika sedang kesal. Dan untuk pertama kalinya, ia menyesali perbuatanya hari ini.

*****
Dandel : (baca; Dendel) biar ga salah nyebut :v

O n' BWhere stories live. Discover now