Menjadi gadis yang mendapat gelar peringkat terakhir urutan kedua, tidak seburuk yang Senja bayangkan. Tidak semenjijikan yang orang-orang lihat, dan tidak semengerikan yang para orang tua alami. Senja masih bisa bernafas dengan begitu semangatnya setiap hari, ia bahkan tak perlu bunuh diri sekadar memusnahkan malunya yang sudah tak terhitung lagi banyaknya. Senja masih seperti gadis pada umumnya, meski gelar itu tak kunjung musnah karena kepandaian otaknya yang tak kunjung meningkat. Ah, tapi, siapa peduli? Asalkan ia masih bisa membaca dan mengerjakan soal ujian tanpa mencontek, ia akan selalu bangga pada dirinya sendiri.
Tidak peduli sebanyak apa orang diluar sana yang mencibirnya bodoh, yang mencibirnya si muka tebal karena tidak memiliki malu, dan mencibir sebagai gadis pemalas yang bahkan tak bisa membuat perubahan pada otaknya sendiri. Hei, asalkan mereka tahu, usaha seperti apa yang sudah Senja lakukan demi meningkat nilainya. Meski hanya naik satu angka dan berlaku untuk satu pelajaran, setidaknya sudah banyak keringat dan kantung mata panda yang tersemat dikedua matanya akibat begadang untuk melakukan perubahan itu. Senja sudah banyak berusaha, lebih dari itu ia malah akan semakin gila karena tidak kunjung mendapat pencerahan.
Dan, untuk saat ini, dimasa putih abu-abunya. Ia akan menikmatinya tanpa beban, tanpa halangan, dan tanpa pura-pura belajar demi mendapat simpati guru seperti yang dilakukan teman-temannya kebanyakan. Karena, Senja sudah tak perlu lagi pura-pura, Senja tak perlu berlagak pintar, toh, guru tak ada yang akan percaya seorang Senja akan belajar dengan baik. Kini, ia bisa sesuka hati menunjukan keinginan hatinya. Bisa sesuka hati menjadi dirinya sendiri. Seperti sekarang, Ia berjalan riang menyusuri koridor yang padat akan murid yang berlalu lalang, seraya membawa ember berisi pupuk untuk Ia berikan pada taman yang berhasil ia renovasi sendiri. Telah berhasil ia benahi berkat skop dan beberapa barang yang dipinjamkan oleh penjaga sekolah dengan sukarela.
Sekarang, untuk ketiga kalinya Senja akan mengunjungi taman itu dan memakan bekal yang dibuatkan Ibunya khusua untuknya, sekali lagi, Senja tidak semenyedihkan yang kalian fikirkan. Senja tumbuh menjadi gadis yang disayangi Ibunya, menjadi anak kesayangan Ibunya.
Dan akan selamanya seperti itu, meski Senja telah menjadi anak bodoh.
Ia telah sampai dibelakang sekolah, tempat dimana taman itu berada. Lalu, baru beberapa detik ia melangkah, seketika pot yang terlempar tepat dibawah kakinya menghentikan laju kakinya, ia menengadahkan kepalanya dan terkejut. Melihat sebuah mahakarya yang kemarin-kemarin ia puji tak henti-henti, sekarang hancur berserakan seperti terkena bencana angin topan. Senja mengangakan mulutnya, matanya membulat tak percaya, ia menjatuhkan ember beserta kotak bekal berwarna merah secara bersamaan, setelah pemandangan yang berantakannya melebihi kandang sapi membuat Senja tidak bisa berkata-kata.
"TAMAN GUE?!" Teriak Senja murka, ia segera berlari kearah bunga bugenvil yang beberapa hari lalu ia tanam. Meski belum menumbuhkan bunga, tetapi Senja percaya bunga itu akan muncul beberapa bulan kemudian setelah dirawat dengan baik. Tetapi, nyatanya pohon bunga itu telah hancur, batangnya patah dan daunnya berjatuhan seperti ditebas dengan cara sengaja.
Senja mencengkram daunnya yang terkoyak itu, ia marah. Ia resmi marah. Siapa yang berani merusak taman miliknya?
"SIAPA YANG RUSAK TAMAN GUE?!" Teriaknya marah, meski tak ada seorangpun disana selain dirinya. Kulit wajahnya memerah, Senja menahan amarah yang akan membludak.
"Ini taman sekolahan, bukan taman elo," seorang lelaki menyembulkan kepalanya dibalik semak-semak, membuat Senja kontan melesatkan tatapan tajam kepada lelaki itu. Mata lelaki itu menyorot lirih, kedua matanya memerah dan berkaca-kaca. Juga seragam sekolahnya yang sedikit koyak dan lusuh. Lelaki itu lebih pantas disebut berandalan karena penampilannya yang kelewat buruk. Meski, penampilan lelaki itu terlihat buruk. Senja tak iba sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senjanya, Benji.
TienerfictieIndah itu, disaat sibuk saling membenci tetapi tak sadar saling cinta. "Gue kecewa disaat terlalu sibuk membenci, gue menemukan sisi diri gue yang mencintai dia. - Benji Putra Wijaya. "Seribu sifat dia yang gue benci. Bisa terlupakan dengan sa...