Paket kiriman

60 12 25
                                    

      Rumah megah itu menyambut kedatangan mobil BMW hitam milik Benji, satpam yang berjaga dengan sigap membuka gerbang yang tingginya melebihi gerbang sekolahan.

       Dengan cepat Benji memasuki gerbang dengan mobilnya, sebelum resmi masuk ia berhenti dan membuka kaca mobil untuk melihat satpam yang berjaga. Dengan sigap satpam itu berjalan menghampiri Benji, saat melihat tuannya memberikan kode untuk mendekat.

      "Ayah udah pulang Pak?" Tanya Benji, dengan cepat satpam itu menggeleng.

     "Belum Den, tadi cuman kesekolah Den Benji. Terus pergi lagi sama Nyonya." Jawaban Satpam itu membuat Benji mengangguk. "Makasih Pak," setelah mendapat acungan jempol dari satpam, Benji segera menutup kaca mobilnya. Menjalankan mobilnya menuju garasi.

•••••


       Ia segera melempar tas itu kesembarang arah, lalu melempar tubuhnya keranjang. Memejamkan matanya sebentar lalu kembali membuka mata dan melihat langit-langit kamarnya, ia menghembuskan nafasnya panjang. Lalu kembali bangkit, dan berjalan menuju meja belajarnya.

      Ia duduk sebentar, memandang berbagai catatan yang tertempel dimeja belajarnya, melihat banyak jadwal Less disana. Juga sebuah tugas dan beberapa tanggal olimpiade yang akan diikutinya beberapa bulan ini. Semuanya ia catat, ia pelajari, ia ikuti tanpa ada kata membantah. Ia lakukan sebisa mungkin, ia bahkan tak memiliki waktu sekadar mengistirahatkan otaknya.

       Ia diam sesaat. Lalu tak lama, ia membanting semua benda yang ada dimeja belajarnya. Ia geser dengan kasar semua benda yang diletakkan dimeja belajarnya, hingga lampu dan beberapa buku terlempar cukup jauh dan menimbulkan bunyi nyaring. Seketika semuanya musnah tak berbekas. Pundak Benji naik turun dengan emosi, matanya memerah menahan tangis. Bonus dadanya bergemuruh protes dan membuatnya sesak.

      Apa semuanya belum cukup?! Bisik batinnya.

        Dan selanjutnya ia berteriak, berteriak begitu kencang hingga membuat para pembantu mendengar dan menggeleng-gelengkan kepalanya karena hal itu sudah sangat biasa.

      "Den Benji mulai lagi.." bisik pembantu yang sedang membersihkan pantri di dapur.

    "Saya takut, nanti stressnya makin parah. Saya takut Den Benji bunuh diri gara-gara stress."

    "Sssst. Jangan gosip, kerjain tugas aja yang bener." Beberapa pembantu ada yang mengingatkan, membuat para pembantu itu kembali untuk menyibukkan diri dan menganggap tidak mendengar sama sekali bunyi yang bahkan semakin parah.

      Sedang Benji sendiri semakin brutal dengan tindakannya, ia bahkan meraih benda-benda yang sekiranya bisa ia banting. "Bangsat! Anjing!" Benji meraih vas bunga yang terletak didekatnya. Lalu melemparnya ke tembok hingga menimbulkan bunyi prang. Emosinya belum sama sekali terlampiaskan, ia masih begitu emosi, ia masih begitu dendam.

      "Masih untung kamu itu punya Ayah. Jadi, jangan buat saya malu punya anak tolol kaya kamu."

     "Saya gak bakal mengaku punya seorang putra, kalau kamu sekolah aja gak becus."

     "Saya ini orang berpengaruh, jadi, buatlah kamu jadi sosok yang berpengaruh juga."

    "Saya gamau kamu punya cela sedikitpun, Saya gamau uang saya terbuang sia-sia."

       Kalimat itu masih terngiang jelas ditelinganya, juga tindakan yang di lakukan Ayahnya lebih kepada orang lain, bukan kepada anak sendiri. Ayahnya datang ke sekolah, karena mendapat undangan terhormat dari kepala sekolah karena prestasinya yang memenangkan olimpiade sains, semuanya berjalan lancar dan baik. Sebelum seorang guru menceletuk kesalahan Benji dalam beberapa pertanyaan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 10, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senjanya, Benji.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang