Halo, para pembaca tersayang. Ini adalah pertama kalinya Author memakai sudut pandang orang pertama. Rada kagok sih, soalnya ngga biasa.
Dengan semua kemampuan yang Author punya, Author mempersembahkan bacaan ini secara cuma-cuma.
Dengan harapan semoga pembaca suka. Meninggalkan jejak, dan tidak menjadi pembaca gelap. 😊
_____________________________________
Aku menggerakkan pulpenku malas pada selembar kertas berjudul angket biodata. Rutinitas tahunan ketika naik kelas ataupun jadi murid kelas 1, ya pasti isi angket biodata.
Ini adalah rutinitas tak menyenangkan sama sekali. Karena menurutku, meminta biodata adalah bagian kecil dari membuka privasi orang.
Aku bukan tipe orang yang suka diusik tentang kehidupan pribadi. Sebab, aku selalu punya pengalaman buruk. Aku menjadi orang yang sangat tertutup setelah teman yang aku percayai menampung isi pikiranku malah merombengkannya ke teman lain.
Bukan kali pertama saja. Sialnya, semua teman yang aku percayai malah punya mulut rombeng semua. Entah aku yang terlalu gampang percaya atau memang nggak ada teman yang bisa dipercaya?
Sedikit aku ceritakan pengalamanku, yang paling nyesek.
Waktu itu--kelas 2 SMP, aku punya teman baru bernama Reyna. Karena kita duduk sebangku, jadi mau tidak mau sedikit banyak berbagi cerita. Entah cerita pribadi atau menceritakan orang lain, baca;iseng.
Setiap aku punya teman dekat, entah kenapa mereka bisa begitu saja mengoloni otakku seakan mata mereka berbicara anggap saja aku sebuah tong besar yang bisa banyak menampung dan mengurangi isi pikiranmu. Atau malah pikiranku sendiri yang memberontak ingin keluar dan pindah ke pikiran orang lain?
Mulutku seakan nggak bisa direm kalau sudah ketemu sama Reyna--yang aku anggap sebagai teman dekat. Aku selalu membicarakan apa saja, bahkan hal tidak penting sekalipun, semacam tadi aku hampir kepeleset waktu mandi.
Dari hal tidak penting, perlahan aku mulai menceritakan ke tahap yang lebih pribadi, misalnya aku masih suka dengan mantanku.
Tak butuh waktu berhari-hari apalagi berminggu-minggu sampai ceritaku menyebar. Waktu aku istirahat ke kantin sedangkan Reyna di kelas bersama teman lain, tak sengaja ponselku ketinggalan di dalam tas, mengharuskan aku kembali lagi untuk mengambilnya. Tau kan gimana rasanya nggak megang ponsel sedangkan yang lain sibuk mencetin ponselnya? Itu semacam penghinaan bahwa kamu nggak lebih asik dari ponsel. Jadi, mereka lebih milih bicara sama ponsel ketimbang sama kamu.
Kembali lagi ke Reyna. Waktu aku mau ambil ponselku di tas, tiba-tiba salah satu teman di gerombolan Reyna yang sedang mendengarnya bercerita berkata, "Sssst." Tapi sangat pelan sekali dengan arah matanya menuju ke arahku.
Reyna seketika berhenti bicara.
Aku membuka tas dengan kedua bola mataku menyambangi mereka satu persatu.
Awalnya aku tidak sadar. Tapi setelah beberapa detik aku belum juga mendapati ponselku, mereka tetap bungkam. Tidak melanjutkan cerita seasik sebelum aku masuk. Aku mulai sedikit menaruh rasa curiga bahwa objek yang sangat asik itu adalah aku sendiri.
"Lo cari apa, Lon?" Reyna mencoba membuyarkan pandangan curigaku.
"Hp."
"Oh, sini gue bantuin cari. Atau lo ke kantin aja dulu, biar gue cariin terus jagain hp lo."
Aku mengernyit. Nadanya memang halus, tapi aku malah merasa terusir.
"Hayo lagi pada ngomongin gue ya?" aku memasang wajah sebercanda mungkin, padahal aku sangat serius menduga itu.
"Ih enggaklah." Reyna memasang wajah sok lugu.
Daripada aku makin mati kutu disana, mendingan aku pergi ke kantin lagi.
Jangan salah! Aku pergi begitu saja bukan berarti aku percaya. Aku orangnya sensitif banget. Nggak tau kenapa kalau ada yang ngomongin, mata dan kupingku seolah mengintruksi untuk menoleh atau datang ke sumber gosip.
Seiring jauhnya langkah kakiku, aku menyempatkan melirik dan ternyata mereka melanjutkan kembali pembicaraan dengan suara yang sangat pelan dan mulut yang hampir tidak terbuka.
Esoknya, aku sedang bergurau dengan teman lain yang juga lumayan dekat--namanya Gyani. Kita biasa nglunjak ketika ngumpul, saling olok dan semacamnya, dia keceplosan meledek, "Mending gue jomblo, ngga pernah punya pacar, daripada elo pernah pacaran dan belum bisa move on."
Alisku menukik semenukiknya, mataku mendelik, lalu berusaha mengintrogasi, "Lo kata siapa?"
Gyani bukan orang yang pandai menyembunyikan sesuatu. Mimik mukanya langsung berubah seperti sedang nahan ingin pup. "Becanda Lon, jan dibawa serius." Dia tertawa tidak jelas.
Aku mengalah tak menjawab, tapi batinku sudah menyimpulkan, berarti kemarin Reyna menceritakan ceritaku.
Arghhh!!! Rasanya aku ingin menelan mereka hidup-hidup. Aku sangat benci pada orang yang aku bagi cerita malah membaginya lagi kepada orang lain. Dan parahnya lagi secara diam-diam di belakangku.
Kejadian seperti itu sering aku alami. Sekali dua kali, aku belum kapok, tapi lama-lama aku kapok juga. Itu sebabnya aku menjadi orang yang sangat tertutup, walaupun harus kuat-kuat melawan sifat asliku yang terbuka, supel dan nyablak.
Banyak yang bilang, aku berubah sejak kelas 3 SMP. Aku cenderung menutup diri dan menarik diri dari lingkungan. Aku juga nggak punya sahabat. Satupun.
Kalaupun aku punya teman yang sering ngobrol denganku di sekolah dan sering kemana-mana bersama, aku hanya menganggapnya sebagai teman dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alona
Teen FictionSerumit inikah kehidupan gegara Tuhan menciptakan rasa 'Cinta' di setiap diri insan? Aku-lah korban dari rasa 'Cinta' yang Tuhan ciptakan. Gimana mungkin aku cinta sama 'doi' yang ternyata kakak kandungku sendiri? Ini rumit. Sangat rumit.