"Ini minumnya nak..." Ibu Didit meletakkan segelas teh di meja kayu depanku.
"Iya buk, terimakasih."
Kesan pertamaku saat beberapa menit lalu, pertama kalinya bertemu Ibu Didit--Bu Ani, orangnya sangat ramah. Bahkan ia selalu menyelipkan senyum di setiap pembicaraan yang kami lakukan.
"Nak Alona rumahnya mana?"
"Saya Cempaka Gang Emas, buk."
"Oh Cempaka gang Emas... berarti sekomplek dong sama Bu Mawar?"
Bu Mawar? Mamaku? Kok Bu Ani kenal Mama? Entahlah, mungkin Bu Ani sering menjual gorengannya ke komplek.
Aku memberi jeda sesaat sebelum aku ingin menjawab bahwa, "Bu Mawar itu Ma---" maku.
"Buk, ini gorengannya hampir gosong? Dibalik atau diangkat?" Suara Didit menggantung empat huruf yang belum sempat aku ucapkan. Namun, aku melanjutkannya pelan. Entah, Bu Ani mendengar atau enggak.
"Eh iya. Sebentar ya nak. Ibu mau ngurusin gorengan dulu. Ayo tehnya diminum, udah Ibu buatin loh."
Aku mengangguk, lalu meneguk teh yang sudah Bu Ani suguhkan.
Sesekali pandanganku menyambangi bangunan yang sudah retak di segala sisi. Tembok tua dengan warna cat yang telah pudar. Aku ngeri, terbayang jika angin meniup rumah yang hampir rapuh ini.
Bangku yang aku duduki juga sudah reyot, mungkin beberapa waktu lagi akan remuk. Tapi percayalah, kalian akan iri jika melihat keharmonisan yang tercipta di dalamnya. Baru beberapa menit aku masuk kesini, perasaan damai dan teduh sudah singgah. Apalagi jika melihat Ibu dan anak yang saling larut dalam tawa. Ngomong-ngomong, daritadi aku belum bertemu dengan Ayah Didit, katanya sih belum pulang kerja.
"Assalamualaikum," ucap pria setengah baya yang kemudian langkahnya terhenti di ambang pintu karena melihatku.
"Waalaikumsalam," jawabku berdiri.
Pria itu menghampiriku dan mengulurkan tangannya.
"Kamu temennya Didit?"
"Iya Pak, nama saya Alona." Aku mencium punggung tangannya.
"Saya Ayahnya. Panggil aja Pak Yanto."
Aku tersenyum manggut.
Sama seperti Bu Ani, Pak Yanto juga orang yang sangat ramah. Dia menemaniku duduk dan mengobrol selama Didit dan Bu Ani masih di dapur. Ah, beruntung sekali Didit. Ekonominya memang sederhana, tapi dia punya keluarga yang luar biasa harmonis. Nggak seperti aku. Kalau suruh pilih, aku malah pengen tukeran posisi sama Didit.
"Eh Bapak udah pulang. Tehnya udah siap di dapur." Bu Ani dan Didit menghampiri kami di ruang tamu.
Nggak seperti Mama dan Papaku, pastilah sehabis pulang selalu berdebat. Ah, kenapa aku jadi membanding-bandingkan?
"Maaf lama Lon. Hari ini ada pesenan banyak soalnya."
"Iya ngga papa kok Dit."
"Kamu mau belajar apa? Matematika, Fisika atau Kimia?"
"Fisika aja Dit, soalnya aku cuma bawa buku Fisika."
Didit mengangguk dan mulai meloloskan paket Fisikanya dari tumpukan paket lain.
***
"Lo yakin temenan sama dia, Lon?" Klara menatapku dalam-dalam.
"Emang kenapa?" Aku mengernyit.
"Dia kan---"
"Apa? Miskin? Pendiem? Nggak punya temen?"
Klara terdiam sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alona
Teen FictionSerumit inikah kehidupan gegara Tuhan menciptakan rasa 'Cinta' di setiap diri insan? Aku-lah korban dari rasa 'Cinta' yang Tuhan ciptakan. Gimana mungkin aku cinta sama 'doi' yang ternyata kakak kandungku sendiri? Ini rumit. Sangat rumit.