Ah, rasanya setiap hari aku hampir menghabiskan pagiku dengan mencari barang-barang. Aku nggak tau kenapa aku seceroboh ini. Kemarin kaos kakiku hilang, sekarang malah sisirku. Ya walaupun sebenarnya nggak hilang, cuma aku yang lupa naruh dimana. Selain ceroboh ternyata aku juga pelupa? Hehe baru nyadar.
Kacamata terbaikku ya Mama. Sekali aku ngucap password, "Ma, lihat sisirku nggak?" beberapa menit setelahnya pasti sisirnya sendiri yang menghampiriku menggunakan kaki Mama.
Bahkan ajaibnya diketemuin sama Mama di tempat yang sudah aku cari dengan teliti, baca;menurutku sebelumnya.
"Kamu belajar mandiri dong! Jangan apa-apa Mama, apa-apa Mama. Kamu udah SMA. Mulai sekarang letakin di tempat yang bener!"
Pffttt... gara-gara barang-barangku aku selalu kena omel.
"Loh, kakak tumben pagian?" Pandanganku teralih ke kak Maya yang tak biasanya jam segini--jam 06.20 sudah rapi dengan seragam yang tak memenuhi aturan itu.
Rok pendek di atas mata kaki dengan kaos kaki yang hampir tenggelam di sepatu kets dominasi warna pinknya. Atasan ketat menampakkan lekuk tubuh, serta rambut yang selalu tergerai dengan bekas semir ombre masih sedikit tersisa. Itulah kak Maya yang gaya hidupnya berbeda 180 derajat denganku. Sangat berbeda.
"Pagi ditumbenin, siang diomelin." Kak Maya mencium punggung tangan Mama, "berangkat dulu Ma. Assalamualaikum."
Mamapun ikut terheran dengan kak Maya yang tak seperti biasanya. Jarang-jarang dia berangkat pagi, apalagi berpamitan sangat sopan seperti ini.
Daripada berlama-lama berdiam diri memikirkan kak Maya, aku lebih memilih untuk mengepang rambutku yang daritadi masih tergerai. Seperti biasanya, rambutku selalu terkepang rapi setiap berangkat sekolah. Namun setelah turun dari bus pasti sudah banyak anak rambut yang lolos dari karet.
"Lona, kamu belum berangkat?"
"Sebentar, Ma. Belum selesai ngepangnya."
Mama mengintip dari sela pintu yang sedikit terbuka. Dari cermin terlihat pantulan wajah Mama memandang aneh ke arahku.
"Kamu nggak salah? Kamu nggak liat jam?"
Aku menengok ke arah jam dinding di kamarku.
Setengah 7 kurang 10 menit. Gumamku tenang.
Tapi? Sepertinya ada yang aneh.
Aku menengok lagi.
APA! Tiga jarumnya mematung di posisi yang sama sejak tadi, tak bergerak sedikitpun.
Itu artinya, JAMNYA MATI! Aku memekik panik. Ku lempar saja sisirku ke sembarang arah, lalu berlari mengambil tasku di meja belajar.
"Sekarang jam setengah 7 lewat lima menit."
Sebal! Mama malah terkekeh santai melihat aku yang berlarian panik seperti ini.
"Mama nggak bilang dari tadi! Ya udah assalamualaikum." Aku melanggang tanpa mencium tangan Mama.
Payah kalau sampe ketinggalan bus!
Aku mengayuh pedal sepedaku dengan kecepatan penuh. Tak peduli berapa banyak peluh yang harus ku keluarkan pagi ini.
Tiba-tiba...
Terdengar suara klek sesaat sebelum aku merasakan pedalku sangat enteng.
Otakku mengintruksi agar mataku menengok ke rantai. Dan ya, benar sekali! Rantaiku lepas dari jalurnya. Ck! Betapa sialnya hari ini. Kenapa juga aku harus menanggung kesialan pada satu hari yang sama? Padahal, hari ini bukan hari lahirku. Daripada aku merutuki diri sendiri, lebih baik aku melakukan hal yang sedikit berfaedah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alona
Teen FictionSerumit inikah kehidupan gegara Tuhan menciptakan rasa 'Cinta' di setiap diri insan? Aku-lah korban dari rasa 'Cinta' yang Tuhan ciptakan. Gimana mungkin aku cinta sama 'doi' yang ternyata kakak kandungku sendiri? Ini rumit. Sangat rumit.