Jauh Dari Kata Harmonis

43 11 5
                                    

Selama setahun penuh sudah aku tak punya sahabat. Sebenarnya, banyak otak lowong yang dengan senang hati menampung beberapa beban pikiranku. Namun, aku sudah jera. Menurutku, tak ada orang yang bisa dipercaya kecuali keluarga. Aku selalu menceritakan apapun kepada Mama. Hanya Mama-lah tempat penampungan beban hati dan pikiranku saat ini.

Aku tidak pernah cerita tentang Papaku kepada kalian kan?

Papa selalu sibuk dengan pekerjaannya. Pagi-siang-sore-malam, selalu berkutik pada benda hitam yang ia anggap lebih berharga daripada keluarga--laptop. Senin sampai Minggu selalu tak ada waktu dengan alasan banyak bahasa pemrograman yang harus ia pelajari. Bisa dihitung berapa kali dalam setahun kita jalan-jalan bersama.

Alasan utama kakak menjadi pembangkang ya karena Papa. Dia memilih menghabiskan waktu bersama teman-temannya di luar rumah karena tak ada kebahagiaan yang bisa ia dapatkan di bangunan mewah berdinding hijau ini.

Lalu aku? Kenapa aku betah singgah di rumah ini? Padahal tak secuilpun kebahagiaan yang mereka berikan padaku.

Kalian tau? Sebenarnya aku juga tak pernah menemukan kedamaian di setiap sudut ruangan besar ini setiap Papa singgah.

Bantal yang aku pegang ini adalah benda peredam kebisingan setiap kedua orang tuaku bertengkar. Aku lebih memilih membaca buku dan beraktivitas di dalam kamar ketika libur sekolah.

"Kamu udah nggak kerja, setiap suami pulang diomelin! Kamu pikir nggak capek!"

"Aku juga capek ngurusin rumah! Makannya cari pembant--"

"Pemborosan! Itu kan emang tugas kam--"

Seperti sayup alunan lagu pengantar tidur, aku selalu mendengarnya sepanjang malam.

Untung rumah ini berpagar beton gagah, jadi tetangga tak ada yang mendengar rutinitas cek-cok pasangan suami istri pemilik rumah ini.

Aku tidak tau pasti, atas dasar apa sebenarnya Mama dan Papa menjalin hubungan pernikahan? Kalau atas dasar cinta, kenapa aku tidak sedikitpun mendengus kebahagiaan dari hubungan mereka?

Kalau kata orang--anak itu buah cinta, aku malah ngerasa semacam buah busuk yang nggak pantas mendapat kasih sayang dari seorang Papa. Dari kecil Papa hanya menyayangi kak Maya, bukan aku.

Beberapa minggu lalu, saat Papa dan Mama bertengkar, aku tak sengaja mendengar Papa berikrar, "Anakku cuma satu!"

Saat itu pula pikiranku berasumsi--yang Papa maksud anak adalah kak Maya.

Namun, aku tak ambil pusing perkataan itu. Mungkin Papa lupa bahwa aku telah lahir dan hadir di keluarga kecil ini sejak 15 tahun lalu.

Kak Maya? Entah sekarang dia ada dimana? Padahal jam sudah menunjukkan pukul 21.45. Dan anehnya, Papa selalu membiarkan apapun yang kak Maya lakukan. APAPUN.

"Anak kamu belum pulang, kamu malah diem aja! Papa macam apa kam--"

Aku menutup kedua kupingku dengan bantal. Cukup membantu. Aku tak mendengar suara bising itu lagi. Hoam... Sudahlah aku capek, aku ingin tidur. Lagipula besok aku harus sekolah.

***

Aku menelisik ke setiap kursi penumpang, "Didit." Ya, dia yang aku cari. Aku ingin duduk di sebelahnya. Ah, tapi sudah ada penumpang lain disana. Didit menyungging senyum ke arahku.

Aku mendengus pasrah lalu duduk di sembarang kursi. Aku jadi teringat dengan cowok kemarin. Kakak kelas bernama Adriano W.. Entah kenapa aku merasa Didit hampir mirip dengan Adriano. Dari sifat maupun tatapannya. Apa iya? Entahlah, aku nggak mau berdebat dengan pikiranku sendiri sepagi ini.

AlonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang