"Ma, liat kaos kaki nggak?" tanganku tak berhenti memberantakkan lemari. Mencoba mencari kaos kaki putih untuk disetel dengan seragam identitas.
"Yang pake siapa yang ditanya siapa?" Jawab Mama santai sedang menata makanan di meja makan.
"Alah Mama! Ayolah. Bantu cari seenggaknya." Aku merengek dengan wajah panik.
Namun Mama tak menggubris. Mama tetap sibuk berkutat pada piring-piring putih yang baru saja dilap.
"Ma! Please. Aku hari ini piket."
"Ck! Kamu itu kebiasaan nggak letakin barang sesuai tempat! Teledor! Udah sana makan dulu. Mama cariin." Mama orang yang paling hapal sifatku. Dia sering kesal karena kecerobohanku, tapi tetap saja aku mengulanginya. Bukan bandel. Aku juga nggak niat untuk ngulangin, tapi aku memang bukan orang yang hidupnya serba teratur. Makanpun nggak teratur, tapi untung aku nggak kena maagh.
"Ini kaos kaki siapa?" Kak Maya datang dari kamar masih memakai baju tidur dengan rambut acak-acakan menenteng sepasang kaos kaki putih panjang yang sepertinya itu milikku.
"Itu kan kaos kakiku?" Ya, itu pasti kaos kakiku. Lagipula, kak Maya tidak pernah punya kaos kaki panjang. Dia bukan tipe murid budiman yang patuh peraturan. Baginya, peraturan dibuat untuk ditentang. Dan ya, dia lebih memberatkan penampilan daripada jumlah namanya yang tercatat di buku pelanggaran BK.
Mama memang kesal pada sifatku, tapi sepertinya dia lebih kesal pada sifat kak Maya. Mama harus menanggung malu setidaknya setiap dua minggu sekali karena dia harus dipanggil ke sekolah karena ulah kak Maya.
"Ya emang. Nyasar ke lemari gue." Kak Maya menyodorkan kaos kaki itu kepadaku.
"Pffft... dicari kemana-mana nggak taunya di lemari Kakak..."
"Udah ketemu Ma." Aku sedikit mengeraskan suara agar Mama mendengar dan berhenti mencari.
Baju dan kaos kaki kami memang sering tertukar lemari. Dikarenakan ukuran badan kami hampir sama. Bahkan sama, hanya kak Maya lebih tinggi dariku. Oh iya, belum aku kenalin kan siapa kak Maya?
Mayasha Reva De Jongh adalah kakak kandungku satu-satunya. Umur kami hanya berbeda 3 tahunan. Namun, aku sudah kelas 10 sedangkan kak Maya masih kelas 12. Bukan kak Maya telat daftar ataupun tidak naik kelas.
Aku memang didaftarkan SD setahun lebih awal. Aku juga tidak pernah merasakan duduk di bangku dengan cat warna warni milik Taman Kanak-Kanak. Aku hanya mendengar cerita dari teman-temanku saja betapa serunya bernyanyi dan menggambar bersama teman-teman.
Sejak kecil aku hanya pandai membaca, menulis dan menghitung. Aku sangat sulit bernyanyi dan menggambar, apalagi di bidang olahraga. Berbeda dengan kak Maya, dia lebih pandai bernyanyi dan olahraga.
Mama berjalan keluar dari kamarku. "Satu anak ceroboh, satunya lagi pemales." Mama menggeleng, ucapannya menyindir kami berdua, namun pandangan mata Mama sepenuhnya tertuju ke kak Maya.
Dia belum mandi, padahal jam menunjukkan pukul 06.15. Pemalas. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa kak Maya penyandang gelar Pemalas.
Aku tidak pernah berangkat bersama kak Maya walaupun kami selalu sekolah di tempat yang sama. Alasannya satu, aku tidak mau menanggung hukuman akibat kemalasannya.
Kakak berangkat sekolah menggunakan motor sejak setahun lalu. Sedangkan aku masih menggunakan angkutan umum.
Untuk sampai ke halte, aku harus mengayuh sepeda sejauh 500 meter, lalu menitipkannya di penitipan dekat sana.
Selama aku berangkat sekolah naik bus, aku nggak pernah sekalipun ketinggalan bus karena aku datang jauh lebih awal. Aku juga nggak pernah bosan atau mengeluh ketika menunggu bus yang kadang terlalu lama datangnya. Polusi, debu, asap, dan terik matahari sudah menjadi sahabatku selama 4 tahun ini. Bagiku, ini adalah bagian dari perjuangan meraih cita-cita, jadi apapun akan ku jalani asalkan hasil terbayar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alona
JugendliteraturSerumit inikah kehidupan gegara Tuhan menciptakan rasa 'Cinta' di setiap diri insan? Aku-lah korban dari rasa 'Cinta' yang Tuhan ciptakan. Gimana mungkin aku cinta sama 'doi' yang ternyata kakak kandungku sendiri? Ini rumit. Sangat rumit.